Bukan Jakarta namanya jika tak ada segunung problematika kehidupan terkait 'lingkungan'. Polusi udara, tanah, limbah pabrik, dan terutama abrasi sudah menjadi makanan sehari-hari warga ibukota negeri ini. Saat ini, abrasi Jakarta sudah mencapai kondisi mengkhawatirkan.Â
Contoh nyatanya terjadi di Kampung Muara Gembong, puluhan rumah rusak akibat abrasi dan satu per satu warga mulai meninggalkan kampung itu. Hal serupa juga terjadi di Kepulauan Seribu yang terpaksa kehilangan 6 pulaunya yaitu Pulau Nyamuk Besar, Pulau Nyamuk Kecil, Pulau Ubi Besar, Pulau Ubi Kecil, Pulau Dakun dan Pulau Anyer Kecil juga diikuti dengan 23 pulau yang terancam hilang.
Namun, penanganan berarti dari pemerintah daerah belum banyak dilakukan. Mirisnya lagi, banyak masyarakat yang seakan kurang peduli akan kondisi ini seperti yang terlihat pada salah satu kampanye di laman lindungihutan.com. Digagas sejak Januari 2019 lalu oleh Nur Avivi Indrayati, hingga kini baru 149 pohon yang terkumpul dari target 2000 pohon. Bisa dibayangkan, ini belum mencapai setengahnya, padahal saat ini kita sudah memasuki bulan-bulan di penghujung tahun!
Berangkat dari peristiwa tersebut, saya bersama seluruh mahasiswa baru jurusan Akuntansi angkatan 2014 Unika Atma Jaya pada tanggal 9 November 2014 mengikuti rangkaian kegiatan Mangroves For Our Future: Tumbuhkan 55.000 pohon Mangrove di Kawasan Hutan Mangrove Tol Sedyatmo, Pantai Indah Kapuk, DKI Jakarta sekaligus Dies Natalis ke 55 Fakultas Ekonomi.Â
Perjalanan kami diawali dengan menaiki bus kepolisian secara serentak pukul 07.00 WIB dari kampus. Kemudian dilanjut dengan sambutan oleh wakil gubernur Jakarta sembari menikmati kesegaran dan kesejukan udara di kawasan tersebut. Cuaca panas terik saat itu sama sekali tidak terasa.Â
Bapak wakil gubernur menyampaikan bahwa penanaman mangrove yang dilakukan Atma Jaya ini selain bisa mencegah abrasi, sangat baik untuk menjaga kualitas air dari pencemaran dengan mampu menyerap polutan di perairan juga membentuk rantai kehidupan makhluk hidup.
Sambutan usai, kami secara berkelompok mulai 'nyemplung' ke hutan berlumpur untuk menanam bibit-bibit mangrove yang telah dibagikan bersama dengan para dosen pembimbing. Ada hal unik yang kami lakukan sebelum mulai menanam, yakni kami wajib mengenakan kaos kaki atau stocking setinggi betis.Â
Tujuannya sederhana, supaya kaki kami tidak terlalu banyak terkena lumpur. Maklum kami ini kan orang Jakarta yang nyaris tidak pernah 'turun' ke hutan hihihi. Penanaman mangrove kami tidaklah rumit karena batang-batang kayu untuk mengikat bibit mangrove sudah dipasang sehingga kami hanya perlu mengikat bibit mangrove ke batang kayu dengan tali rafia lalu membenamkan bagian bawah bibit ke lumpur.Â
Tapi, sekali lagi karena kami orang yang tidak pernah 'turun' tadi, banyak mahasiswa yang kesulitan berjalan di lumpur hingga terjatuh. Saya pun mengalami hal yang sama, tetapi bukan raga saya yang terbenam ke lumpur, melainkan kacamata saya. Untunglah tidak banyak kecipratan lumpur, jadi mudah untuk dibersihkan.
Matahari kian meninggi dan kini saatnya kami pulang menuju kampus kami tercinta. Penanaman mangrove ini memberikan energi kepada kami sebagai kaum muda untuk selalu menjaga kelestarian lingkungan, khususnya air sebagai salah satu unsur pendukung kehidupan.Â
Tentunya, kita ingin kota Jakarta yang kita sayangi ini memiliki air berkualitas dan bebas dari dampak negatif abrasi, bukan? Dan sebagai bonusnya, kami semua mendapatkan sertifikat penghargaan rekor MURI sebagai peserta kegiatan penanaman mangrove terbanyak yang dibagikan dua minggu seusai acara. Mari mulai sayangi bumi sekarang juga. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?