Gelap mendesak...
menyumbat penjuru aliran darah
sesak, terengah menggapai-Mu
menyembul pori-pori kulit terbelai angin,
membangkit berdiri anak-anak rambut...
merinding, bergidik dan bergetar...
kuhitung serta merta
setiap detak jantung yang mengetuk dada
berdentam saat 'stetoskop' memeluk
menyampaikan pesan pada gendang telinga...
Gelap semakin meraja...
mengundang sunyi, mengabaikan deru di dada
nan semakin berderak-derak
laksana daun jendela tua menopang angin...
Kutelusuri celah demi celah,
memanggil setitik terang yang mungkin sudi mengintip
berkedip-kedip saat terlirik...
dalam gelap, tak lagi kupaksa mata memejam
tetapi tak pernah leluasa mencipta bayangan-Mu
Di sudut almari tua,
terpendar cahaya keemasan itu
meringkuk aku menahan sesak
sesegera mungkin kubisikkan nyanyian penuh rajuk dan rayu
memuji dan memuja...
meminang sudi membagi titik pendarnya
kugeser tanpa suara dan tersembullah
pendar itu melebar
telak....
menyorot sebuah lukisan di dindingku
terpasang gambar wajah-Mu,
yang menyesakkan dan kurindu...
Terengah-engah kulapangkan dada...
meminang pendar itu,
demi memandang-Mu tak jemu
dalam terang memancari lukisan-Mu
Malam,
di sebuah ruang penuh pekerjaan
saat lukisan-Mu terserang badai kegelapan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H