[caption id="attachment_259933" align="aligncenter" width="300" caption="Anak-Anak Ahmadiyah Pengungsian, BBC"][/caption]
“Di dalam meraih kemerdekaan itu tidak sedikit para Ahmadi Indonesia yang ikut berjuang dan meraih kemerdekaan. Misalnya (alm) R. Muhyiddin. Beliau dibunuh oleh tentara Belanda pada tahun 1946 karena beliau merupakan salah satu tokoh penting kemerdekaan Indonesia.”
Kasus pengusiran terhadap para penganut Syiah di Sampang, Madura seharusnya mengingatkan segenap masyarakat tentang salah satu aliran di dalam Islam yang juga dianggap sesat, yaitu Ahmadiyah. Ahmadiyah selama ini mengalami kondisi tertekan akibat teror yang terus dilayangkan terhadap aktivitas keagamaan mereka. Teror tersebut dilandasi perbedaan prinsip mengenai keyakinan posisi kerasulan Mirza Ghulam Ahmad yang dianggap menyimpang oleh sebagian besar umat Islam, baik di dunia maupun di Indonesia.
Komnas Perempuan dalam sebuah laporan tahunan menyebut bahwa perempuan dan anak-anak Ahmadiyah menjadi korban diskriminasi berlapis. Dalam temuannya Komnas Perempuan menyatakan anak-anak Ahmadiyah mengalami pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran terhadap hak anak untuk bebas dari diskriminasi dan hak anak atas pendidikan. [bbc]
Hilangnya hak pendidikan tersebut disebabkan oleh tidak tersedianya akta kelahiran dari pemerintah setempat terhadap 30 anak-anak keluarga pengungsi Ahmadiyah di Wisma Transito, Mataram, NTB. Sejak tujuh tahun silam jemaah Ahmadiyah mengungsi dari desa mereka di Ketapang, Lombok Barat setelah sebelumnya mengalami intimidasi dan kekerasan yang berujung pada pengusiran paksa. Padahal anak-anak tersebut tidak memahami secara jelas kenapa mereka mengalami perlakuan semacam itu.
Selama tinggal di penampungan, kebutuhan hidup mereka sempat ditopang dengan sembako bantuan dari pemerintah daerah. Akan tetapi sejak tahun 2007 tidak ada lagi bantuan yang mengalir kepada para pengungsi. Akhirnya banyak dari mereka memilih bekerja serabutan, menjadi kuli, mengasong, atau tukang ojek. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kehidupan saat para pengungsi berada di kampung halaman. Mereka mengaku memiliki rumah dan tanah sehingga dapat hidup dengan berkecukupan.
[caption id="attachment_259934" align="aligncenter" width="300" caption="doc setara-institute.org"]
Derita jemaah Ahmadiyah dimulai sekitar tahun 1999, saat itu Ahmadiyah Lombok kali pertama diserang oleh orang-orang yang menginginkan mereka merubah keyakinannya. Mesjid Ahmadiyah di Bayan, Lombok Barat dibakar. Satu orang meninggal dalam insiden yang berujung pada pengusiran paksa semua orang Ahmadiyah di Bayan. Pada 2001, giliran Ahmadiyah Pancor, Lombok Timur yang menjadi sasaran serangan, mereka juga dipaksa pergi dari kampungnya.
Mengenai sejarah, sebenarnya Ahmadiyah terbagi menjadi dua golongan, yaitu Qadian dan Lahore. Dalam perspektif Qadiani, Mirza dianggap sebagai Rasul. Sementara Jemaah Ahmadiyah Lahore menganggap MGA hanya sebagai seorang pembaharu Islam. Bukan seorang Rasul. Hal ini dilatarbelakangi oleh perpecahan Ahmadiyah saat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad menjadi pemimpin.
Bashiruddin adalah anak kandung Mirza Ghulam Ahmad. Ia berpendapat bahwa al-Masih al-Mau'ud itu betul-betul nabi. Semua orang Islam yang tidak berbaiat kepadanya dihukumi sebagai kafir dan keluar dari Islam. Menurut Bashiruddin, Nabi Muhammad bukanlah nabi terakhir. Jemaah yang menentang Bashiruddin memutuskan untuk keluar dan membentuk Ahmadiyah Anjuman Isya'ati atau lebih dikenal dengan Ahmadiyah Lahore. Kelompok ini dinamakan Lahore karena berpusat di Lahore, Pakistan.
Pengukuhan kenabian itu terpecah menjadi berbagai macam potensi pandangan karena situasi politik India yang sedang dalam penjajahan Inggris. Kolonial Inggris tidak menginginkan pergolakan dari daerah jajahan, terutama umat Islam yang tanpa gentar maju melawan imperialisme. Hal inilah yang menyebabkan Inggris memanfaatkan pengaruh Bashirudin sebagai anak tokoh besar seperti MGA untuk mempengaruhi masyarakat. Pengaruh itu pun akhirnya membuat pengikut Islam Ahmadiyah Qadiani meredam pertentangan terhadap Inggris. Namun tidak menutup kemungkinan akan muncul pandangan lain sehingga mampu membenarkan prioritas eksistensi Jemaah Ahmadiyah Qadiani.
Terlepas dari isu sejarah apapun, keyakinan tetaplah sesuatu yang tidak boleh dipaksakan. Relokasi yang pernah dijanjikan terhadap pengungsi Ahmadiyah pun hingga kini masih menjadi tanda tanya. Bangsa ini seolah lupa terhadap jasa-jasa para tokoh Ahmadiyah dalam perjuangan melawan penjajah.
Seperti andil pada peristiwa proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Di dalam meraih kemerdekaan itu tidak sedikit para Ahmadi Indonesia yang ikut berjuang dan meraih kemerdekaan. Misalnya (alm) R. Muhyiddin. Beliau dibunuh oleh tentara Belanda pada tahun 1946 karena beliau merupakan salah satu tokoh penting kemerdekaan Indonesia.
Juga ada beberapa Ahmadi yang bertugas sebagai prajurit di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan mengorbankan diri mereka untuk negara. Sementara para Ahmadi yang lain berperan di bidang masing-masing untuk kemerdekaan Indonesia, seperti (alm) Mln. Abdul Wahid dan (alm) Mln. Ahmad Nuruddin berjuang sebagai penyiar radio, menyampaikan pesan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia.
Dengan adanya hal semacam ini pemerintah seharusnya membuka mata lebar-lebar dan mulai mengembalikan hak-hak para pengungsi Ahmadiyah seperti semula. Rekonsiliasi tak hanya untuk Syiah, namun juga Ahmadiyah beserta aliran-aliran lainnya yang sering mendapat label sesat, padahal mereka sama sekali tidak mengganggu masyarakat dan menimbulkan kerusakan. Penghargaan terhadap SBY beberapa waktu lalu adalah tamparan keras bagi kaum minoritas mengingat keberadaan mereka masih sering ditindas dan mendapatkan perlakuan keji. Selayaknya kita berpikir kembali bahwa banyak cara untuk memperoleh ketenangan hidup bersama, tanpa harus memaksakan keseragaman keyakinan dengan tindakan diskriminasi dan kekerasan.
-Maria Danurdara 16/8-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H