[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]
Pemberitaan media mengenai adanya rencana kebijakan test keperawanan terhadap para siswi SMA sederajat oleh Dinas Pendidikan Kota Prabumulih kini telah menuai reaksi pro-kontra dari berbagai kalangan. Reaksi muncul karena kemungkinan dampak yang akan ditimbulkan oleh kebijakan kontroversial tersebut memberikan pengaruh buruk terhadap kondisi kejiwaan para remaja. Hasil negatif dari test keperawanan ini justru dapat menghambat laju perkembangan potensi diri mereka. Para remaja khususnya remaja perempuan akan mudah merasa down dan cenderung bersikap brutal akibat terlanjur di beri label 'tidak perawan'. Kebijakan provokatif tersebut sebenarnya memiliki motif yang tidak dapat sepenuhnya dikatakan salah. Segenap elemen masyarakat pendukung kebijakan beranggapan bahwa maraknya perilaku seks bebas memerlukan tindakan preventif berupa test keperawanan sehingga mereka memiliki rasa takut untuk melakukan hubungan intim tanpa ikatan resmi. Perlu diketahui bahwa sesungguhnya kebijakan semacam itu telah mengesampingkan pola represif dalam menangani kasus penyimpang sosial pada remaja. Berdasarkan penilaian dari dampak yang akan ditimbulkan, test keperawanan adalah solusi timpang untuk sebuah persoalan kompleks seperti seks bebas. Ketimpangan ini memunculkan dugaan adanya unsur diskriminasi yang disengaja oleh pemikiran lawan jenis terhadap pergerakan hak asasi kaum perempuan. Keperawanan selama ini telah menjadi tolak ukur atau indikator mengenai tingkat moralitas seorang remaja putri. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena keperawanan merupakan sesuatu yang dianggap sakral oleh masyarakat, terutama bagi mereka yang masih berpegang teguh terhadap budaya ketimuran. Padahal keutuhan selaput dara di dalam organ intim tak hanya dipengaruhi oleh hubungan seks semata. Selaput dara adalah sebuah membran tipis yang sangat sensitif terhadap gejolak yang berasal dari luar tubuh. Faktor eksternal seperti kecelakaan dan kegiatan olahraga juga dapat menjadi penyebab hilangnya selaput dara dari vagina seorang perempuan. Hilangnya keberadaan selaput tipis tersebut dari vagina tidak dapat menentukan baik buruknya moral seseorang. Penyelenggaraan test keperawanan dalam dunia pendidikan dinilai sangat-sangat tidak manusiawi terhadap para perempuan korban pelecehan seksual.Kasus perkosaan yang akhir-akhir ini marak telah menimbulkan trauma berkepanjangan terhadap mentalitas para korban. Ditambah lagi hak-hak pendidikan bagi mereka kini mulai terancam karena tuntutan virginitas ketika memasuki jenjang sekolah berikutnya. Hal ini semakin menyurutkan semangat kaum perempuan untuk memperoleh realitas kesetaraan gender dalam meraih cita-cita masa depan. Sedikit cerita dari seorang tokoh terkenal bernama Oprah Winfrey yang mungkin dapat memberikan motivasi bagi para korban pemerkosaan. Oprah sendiri adalah salah satu korban pelecehan seksual ketika ia masih berusia 9 tahun. Bahkan Oprah pernah mengalami kehamilan di usianya yang ke 13 akibat pemerkosaan bergilir yang dilakukan oleh sepupu ibunya beserta teman-temannya. Pemerkosaan itu terjadi berulangkali dalam kurun waktu yang cukup lama. Kemudian Oprah melahirkan, namun naas bayinya mengalami kematian setelah 2 minggu sempat hidup di dunia. Setelah kejadian itu, Oprah lari ke rumah ayahnya di Nashville. Ayahnya mendidik dengan sangat keras. Pengajarannya pun menggunakan disiplin yang sangat tinggi. Oprah diwajibkan membaca buku dan membuat ringkasannya setiap akhir pekan. Walaupun tertekan berat, namun Oprah menyadari bahwa didikan keras inilah yang menjadikannya sebagai wanita yang tegar, percaya diri dan berdisiplin tinggi. Siapa sekarang yang tak mengenal Oprah Winfrey? Kesuksesannya sebagai motivator dunia tak perlu diragukan lagi. Padahal masa lalu Oprah begitu kelam dan menyisakan duka mendalam bagi dirinya. Namun ia mampu bangkit untuk meraih masa depan dengan sangat cemerlang. [link] Di sini Oprah adalah sosok pembuktian bahwa keperawanan bukanlah satu-satunya jaminan moralitas dan masa depan bagi seorang perempuan. Tidak perawan bukan berarti tidak bermoral, tidak cerdas, dan tidak punya kesempatan untuk meraih masa depan. Dinas Pendidikan yang mencanangkan penyelenggaraan test keperawanan seharusnya belajar dari secuil kisah-kisah motivasi para tokoh besar ketika mencanangkan sebuah kebijakan. Jika hilangnya keperawanan tersebut disebabkan oleh perilaku remaja yang kebablasan, tindakan yang tepat adalah penyuluhan dan pendidikan tepat sasaran tentang seks bebas. Bukan malah mendistorsi hak pendidikan yang seharusnya tidak mengenal diskriminasi, terutama terhadap wilayah keintiman seseorang. Semoga kedepan pemerintah lebih selektif lagi menyikapi wacana test keperawanan agar tidak memojokkan suatu pihak terutama perempuan dalam rencana peningkatan kualitas pendidikan moral bagi bangsa dan Negara.
-Maria Danurdara 21/8-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H