Langkah kaki kupercepat seiring pesan dari bapak ojol yang sudah menungguku di lobi. Sapaan hangat itu membuatku tersenyum setelah melewati hari yang cukup melelahkan. Angin mulai masuk ke dalam jaket hitam yang ku kira sudah mampu menghangatkanku, namun malam itu rasanya aku sudah kalah. Lucunya, setiap kali aku mengendarai ojol, helm yang diberikan pasti selalu kebesaran, huft. "Ini helm-nya atau kepalaku saja yang terlalu kecil?"
Sepanjang jalan menyusuri kota ditemani deru knalpot kendaraan yang berdampingan denganku, aku mulai hanyut dalam pikiranku sendiri. Kenapa aku gagal lagi ya? Setelah berkali-kali mencoba, hasilnya tetap (masih) nihil. Harapan yang tadinya mengiringi jalanku menjemput impian itu, bahkan kini sudah aku turunkan sedemikian rupa. Supaya jangan ada lagi kata kecewa. Jauh sekali rasanya impian itu, terbentang luas jarak yang mengharuskan aku berlari lebih kencang dari sebelum-sebelumnya.
Aku kembali pada diriku saat ini. Aku melirik kanan dan kiri, memfokuskan pandanganku pada ragam ekspresi di balik helm orang-orang yang entah mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah, perjalanan ke rumah teman, pergi nugas, atau ya bisa jadi pergi makan di suatu tempat. Ada yang asik mengobrol, melamun saat menunggu detik lampu merah menjadi hijau. Bahkan ada yang menyanyi, lucu, pikirku.
Saat pikiranku mengambil alih lagi, rasa takut akan gagal lagi itu menyeruak. Padahal, sederhana saja namanya hidup pasti ada jatuhnya kan? Tetapi kalau sudah melihat kebun orang lain, konon katanya pasti selalu lebih hijau. Kebun orang lain memang tampak menggiurkan, namun siapa yang tahu merawat kebun itu membutuhkan proses yang tidak sebentar, banyak yang harus diperjuangkan juga, sehingga jadilah hijau subur kebun itu.
Aku pikir-pikir lagi sambil menatap lampu-lampu Kota, kenapa sih kita sibuk sekali menengok kebun orang lain? Kenapa kita atau aku bahkan iri terhadap kebun itu? Alih-alih mulai memikirkan bagaimana cara merawat kebun sendiri supaya baik tumbuh kembangnya. Apakah aku dan kamu juga terlalu lama menatap layar ponsel, melihat kehidupan orang lain yang sepertinya mulus itu?
Ya, aku rasa sesuatu di dalam ponsel itu membuat kita mengabaikan proses tumbuh yang pastinya setiap orang berbeda satu dengan lainnya. Seolah-olah ter-hipnotis dan tidur akan sihirnya, kita mudah merasa tersaingi dan dengki. Ketika tidak berhasil mencapai sesuatu, sudah langsung tidak berdaya dan menggerutu.
Di sela-sela sibuknya pikiranku itu, ada yang membuatku geli. Lucu ya, ketika beberapa menit lalu aku kecewa dengan mimpi yang tak kunjung terwujud itu, namun beberapa menit setelahnya, aku sudah menemukan obat pereda kecewa itu sendiri. Mungkin, kita tercipta seperti itu. Semakin suatu masalah atau keadaan yang membuat kita sedih dan kecewa itu kita ajak "ngobrol", semakin mudah juga kita menemukan "obat" peredanya.
Bapak ojol ini sekarang melaju cukup kencang. Aku perhatikan lagi, setiap orang sedang berjuang dengan hidupnya masing-masing. Melihat hijaunya jaket bapak ini, aku jadi teringat kata-kataku sendiri soal kebun itu sekali lagi. Kebunku harus dirawat dengan penuh kasih. Ya, hama pasti akan ada, hujan pun pasti akan turun. Namun aku tahu pasti, kebunku punya waktunya sendiri untuk bersinar. Kebun ini pasti punya tempat di alam yang luas ini.
Saatnya berkata "Ayo, rawat terus kebun ini!", begitupun kamu ya, rawatlah kebunmu sendiri dengan segenap hati. Ada waktunya, kebunmu itu tumbuh hijau dan bersinar.
Note : Terima kasih bapak ojol, udah anterin, hehe.