Tahun 2020 menjadi tahun yang menantang bagi dunia perfilman. Film pertama garapan Dian Sastro Wardoyo mengangkat sebuah tema pendidikan. Gambaran akan pendidikan di Indonesia sengaja dituangkan ke dalam film yang berjudul 'Guru-Guru Gokil' ini.
Guru-Guru Gokil (2020) dibintangi oleh Gading Martin (Taat Pribadi), Dian Sastro Wardoyo (Nirmala), Fardina Mufti (Rahayu), Boris Bokir (Manul), Asri Welas (Indah), Kevin Ardilova (Ipang), dan Ibnu Jamil (Purnama).
Ketika mengupas sebuah film terdapat berbagai sudut pandang. Sebagai penonton, makna dan nilai yang terkandung dalam film bisa kamu lihat dari berbagai sisi.
Kali ini, kamu akan diajak untuk melihat film 'Guru-Guru Gokil' dari sudut pandang atau paradigma kritis.
Paradigma KritisÂ
Menurut Lawrence Neuman (2003, h. 81) paradigma kritis itu melihat realitas sosial yang berubah dengan berbagai ketegangan, konflik pada relasi atau institusi sosial. Pandangan ini sebenarnya ingin mengungkap ketimpangan relasi sosial yang ada.
Paradigma kritis memiliki tujuan untuk memberikan kritik dan transformasi sosial. Maka penelitian menggunakan paradigma ini dapat mengupayakan suatu perubahan ke arah yang lebih positif.
Isu Pendidikan
Film Guru-Guru Gokil mengangkat sebuah isu mengenai gambaran pendidikan di perdesaan atau di daerah pelosok yang ternyata proses pembelajaran disana tidak mudah.
Pendidikan di Indonesia mungkin sudah seringkali dibahas. Namun sekarang jarang ditemukan film yang menyenggol sistem pendidikan di perdesaan.Â
Problematika pendidikan di daerah perdesaan maupun di pelosok seperti kesulitan mencari guru pengganti di sekolah, gaji guru yang minim, dan pencurian uang oleh oknum-oknum tertentu.
Taat pribadi yang kesana kemari mencari kesuksesan di kota, terpaksa kembali ke sekolah tempat di mana bapaknya mengajar. Semua itu dilakukan karena Taat sangat membutuhkan uang.