3-4 Oktober 2014
Pertemuan dengan alam selalu membawa warna dan cerita di setiap sudutnya. Perjalanan menuju sepasang gunung yang cantik di awal bulan Oktober ini membawa memori yang tinggal selamanya dalam pikiran. Ah indah sekali.
Tepat tanggal 3 Oktober malam, kami berkumpul di halte Universitas Indonesia, akan memulai perjalanan kami sampai 5 Oktober. Tim pendakian ini berjumlah 16 orang, semuanya kini menjadi keluarga dan sahabat saya, sebut saja Masdan, kak Ojan, kak Fitri/Mpit, kak Vindy, kak Hilmy, kak Ismi, kak Puspa, kak Yoga, Oki, Reyhan, kak Riza, kak Ania, kak Vici, kak Yupi dan Mas Eko. Saya sendiri awalnya hanya mengenal Masdan, tapi sekarang semua dari kami berteman sangat akrab. Indahnya pendakian gunung salah satunya adalah menemukan keluarga baru.
Kami berjalan dari Depok menuju Cibodas di Jumat malam itu. Karena letih seharian bekerja, saya tertidur pulas dalam tronton. Kehangatan dengan teman-teman baru hari itu membuat saya tidak sabar menjejakkan kaki di puncak kedua gunung yang sudah menanti kami, Gunung Gede-Pangrango. Pesona keindahan dan kesunyiannya sudah memanggil. Entah kapan saya jatuh cinta pada gunung, yang pasti pendakian esok hari resmi ke-5 kali saya mendaki, menemukan Tuhan dan keindahan alamNya di ribuan meter di atas permukaan laut, sejenak melupakan hingar bingar kota dan setumpuk rutinitasnya, bercengkerama dengan keluarga baru sepanjang seperjalanan.
Pendakian kami menggunakan jalur via Cibodas. Secercah matahari dan udara sejuk disana menyambut Sabtu pagi kami, setelah beristirahat sejenak dari dini hari. Kami siap mendaki gunung di ketinggian 2958 mdpl dan 3019 mdpl.
Gede dan Pangrango pagi itu sudah memanggil. Kami pun siap berangkat.:)
Udaranya sejuk, saya sangat menikmati hari itu. Hawanya berbeda dengan Gunung Papandayan yang cukup panas bila didaki siang hari, sekalipun matahari siang itu tersenyum lebarnya namun langkah kaki ini selalu semangat, bertemu dengan alam dan menyatu disana. Batu-batu yang menjadi halangan bagi tapakan kaki kami, bagi saya yang mungkin tidak ahli sekali dalam mendaki gunung cukup sakit dan seolah berteriak ingin berhenti. Tapi saya harus tetap melangkah. Semangat dan semangat.
Menjelang siang hari langkah kaki saya semakin berat. Dalam pendakian siang itu, saya lebih sering bersama kak Vindy, kak Mpit dan Oki. Mereka teman yang luar biasa, saling menyemangati biar keringat sudah menghujam dengan derasnya seiring dengan turunnya semangat. Kaki yang dipertemukan dengan batu-batuan ini terasa semakin sakit. Rute Gede ini cukup sulit karena biasanya gunung yang sebelumnya saya daki medannya adalah tanah dan bukan batu. Beberapa pos air terjun, air panas, dan hutan-hutan yang sejuk menjadi pemandangan kami mengurangi rasa sakit di kaki saya. Jangan pernah berhenti, Esi!
4 jam sudah kami tiba di Kandang Badak. Kami akan beristirahat sejenak, kemudian membuka tenda untuk bermalam. Istirahat kami 2 jam saja, kemudian kami akan summit ke puncak Gede sore hari itu. Pikir saya setelah beristirahat akan lebih baik, ternyata rute Gunung dengan ketinggian 2958 mdpl ini sulit bukan main. Mungkin tidak terlalu tinggi, tapi perjalanan kesana dipenuhi batu-batu dan tanjakan-tanjakan yang cukup menantang. Kalau di jalan ingin menyerah, saya anggap rute ini pendakian ini sebagai jalan saya menuju hidup yang saya cita-citakan. Kalau begini saja menyerah, bagaimana mau menggapai mimpi-mimpi? :D Pikiran positif itu memotivasi diri saya sendiri.
Semakin sore, semakin kabut, tak menghalangi langkah kami. “Tanjakan setan” yang sangat curam sempat jadi penghalang kami. Tapi, kami tidak menyerah sedikit pun. Kami lewati semuanya, saling tolong menolong, bahu-membahu. Merbabu yang lebih tinggi saja sudah bisa saya lalui, seharusnya Gede pun bisa, ujar saya sambil memotivasi saya sendiri. Karena bukan masalah gunung yang kita taklukan tapi masalah diri kita. Menurunkan ego kita, menolong teman, mengenal alam yang tiada habisnya memberi warna indah bagi kehidupan kita.
Puncak gede pun serasa sedikit lagi tergapai. Kabut sempat menutupi, tapi kami semakin semangat menyambutnya. Tibalah kami di puncak Gede. Ritual saya setiap tiba di puncak Gunung adalah berdoa. Mengucap syukur bisa sampai di ketinggian ini, melewati rute-rute cukup sulit yang mungkin menggambarkan perjalanan hidup kita nantinya. Maka, jangan pernah habis harapan. Saat itu juga beberapa teman menjalankan ibadah sholat disana. Melihat itu saya terharu. Terlebih malah itu malam menyambut Idul Adha, ya 5 Oktober besok adalah hari Raya Idul Adha. Momennya sungguh tepat, walaupun saya tidak merayakannya, tapi saya semangat menyambutnya, melihat teman-teman merayakannya di puncak Gunung yang cantik ini, besok Pangrango sudah menanti.
Malam tiba, kami kembali ke tenda, rute-rute sulit yang kami lewati tadi sore hari semakin berat karena hari sudah gelap. Tapi, menyerah bukan pilihan. Kami terus melaju.
5 Oktober 2014
Pukul setengah 4 pagi di hari Minggu, 5 Oktober 2014, kami menuju gunung Pangrango. Ah semangat sekali pagi itu. Mungkin lebih tinggi dan lebih melelahkan dari Gede, tapi semangat dini hari itu masih menggebu-gebu. Apalagi membaca dan mendengar beberapa cerita teman tentang gunung yang manis ini, tidak sabar ingin summit di puncak. Perjalanan pagi itu juga cukup sulit, karena suasan masih gelap, udara cukup dingin, dan beberapa teman sekelompok banyak yang sudah kelelahan.
4 jam kami sudah tiba di puncak Pangrango. Mungkin pemandangannya tidak sebagus sewaktu di Merbabu atau Papandayan, tapi keheningan yang ditawarkan membuat saya ingin berlama-lama di tempat itu. Tidak heran Soe Hok Gie jatuh cinta pada gunung ini. Hawa dinginnya, kabutnya, edelweiss-nya yang manis di Mandalawangi. Hari ini, banyak teman sholat Ied berjamaah dengan pendaki lain. Saya sangat senang melihatnya, walaupun saya tidak bisa misa di atas gunung *agak mustahil hehe, saya tetap berdoa dan menghaturkan puji dan syukur pada Tuhan di puncak gunung kedua yang saya daki dalam Sabtu-Minggu ini. Kelihatannya agak mustahil mendaki 2 gunung dalam 2 hari, tapi bagi Tuhan tidak ada yang tidak mungkin, bukan?
Perbedaan itu begitu indah, saya senang sekali di Minggu pertama Oktober ini melihat pemandangan yang mungkin tidak bisa saya lihat setiap hari. Perayaan Idul Adha di puncak gunung ini semakin memperkaya pengalaman dalam perbedaan ini. Berbeda itu indah dan manis.
Kami bersiap turun ke tenda kami, dan Minggu sore itu kami akan kembali ke Cibodas, dan segera menuju Jakarta. Menghabiskan 2 hari ini di gunung ini serasa begitu cepat. Ingin rasanya tidak pulang, hehe tapi perutusan hidup kita yang sesungguhnya sudah menanti. Ingat cita-cita yang ingin kita capai. Gunung Gede-Pangrango dan teman-teman pendakian sudah memberi pelajaran berharga, menjadi lebih kuat, menjadi lebih cinta akan alam dan Tuhan. Memori bersama di gunung ini tidak akan pernah saya lupakan. Jalur yang cukup sulit tapi ditemani teman-teman yang luar biasa, hari Raya Idul Adha di puncak Pangrango dan Mandalawangi, hembusan angin di tiap langkah yang kami lalui. Sampai bertemu lagi Gede-Pangrango. Seperti yang dikatakan Soe Hok Gie, "Aku cinta padamu Pangrango, seperti aku cinta pada keberanian hidup" I do feel the same:) Hidup itu soal keberanian. Menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar. Terimalah, hadapilah.
Film singkat tentang perjalanan kami: http://www.youtube.com/watch?v=0RN6I0Eo1r0
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H