Old Post 10 November 2014
Pernahkah membayangkan hidup dalam selimut kabut asap atau bangun dengan rasa sesak di sekujur tubuh? Inilah realita yang sungguh dirasakan oleh sanak saudara kita di bumi lancang kuning, provinsi yang terletak di bagian tengah Pulau Sumatera, Provinsi Riau. Kalau dulu kita mengenal Riau sebagai ladang minyak tanah air, kini dapat dikatakan pujaan itu sirna oleh kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Sedih tentu kita semua rasakan, tidak hanya masyarakat Riau, tapi seluruh warga Indonesia. Asap yang membubung dan ‘menghiasi’ Riau dalam beberapa bulan terakhir menghantui masyarakat, membuat mereka semakin resah akan kejadian itu.
Berdasarkan laporan tim audit kepatuhan hukum kebakaran hutan dan lahan di Riau, dari 5 perusahaan perkebunan tergolong sangat tidak patuh, dari 4 tergolong tidak patuh. Perusahaan kehutanan, dari 12 perusahaan yang diaudit 1 perusahaan tergolong sangat tidak patuh, 10 perusahaan tergolong tidak patuh dan 1 perusahaan tergolong kurang patuh. Penilaian juga dilakukan pada Pemerintah Kabupaten dan Kota, bahwa dari 6 kabupaten dan kota, 1 kabupaten patuh, 1 kabupaten cukup patuh, dan 4 kabupaten kurang patuh. Hal ini diperoleh dari ringkasan eksekutif Audit Kepatuhan Dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau 2014. Kriteria tersebut tentu dibuat dari beberapa aspek antara lain aspek sistem dan kelembagaan; aspek sarana prasarana dan sumber daya manusia; serta aspek biofisik dan sosial kemasyarakatan.
Pada periode 2 Januari-13 Maret 2014, terindentifikasi 12.541 titik panas di lahan gambut (93,6% dari seluruh titik panas) di seluruh provinsi Riau. Dalam periode itu, titik panas tertinggi terdapat pada tanggal 11 Maret 2014 yakni sebesar 2049 titik panas. Hal ini tentu menimbulkan dampak yang luar biasa. Ringkasan eksekutif Audit Kepatuhan Dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau 2014 memuat keterangan dari Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Riau, setidaknya lebih dari 30.000 warga Riau terkena Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), radang paru-paru, iritas mata dan kulit.
Padahal lahan gambut memiliki fungsi ekologis yang penting. Selain sebagai ekosistem penyangga kehidupan, pengatur hidrologi, suplai air, dan pengendali banjir, gambut sendiri berfungsi habitat dan sarana konservasi keanekaragaman hayati, serta sebagai pengendali iklim global (melalui kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon). Betapa berharganya lahan gambut kita.
Sekelompok masyarakat telah mengadukan apa yang mereka rasakan, sebuah plaform aspirasi online menuangkan ide warga yang menginginkan bapak Presiden blusukan ke Riau, ikut merasakan hujaman asap yang kian mengganggu pernafasan mereka. Apakah kemudian dengan Bapak Presiden Joko Widodo datang kemudian akan selesai persoalan kebakaran hutan dan lahan yang cukup pelik ini? Akankah ada solusi yang ditawarkan? Tidak hanya aksi online tersebut, banyak gerakan lain yang telah dilakukan para pegiat lingkungan.
Kebakaran hutan gambut yang sudah terjadi selama lebih dari satu dasawarsa ini, membuat masyarakat menderita gangguan kesehatan. Berdasarkan laporan tim Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan, tercatat ada beberapa masalah kesehatan yang mengancam salah satunya efek kabut asap yang menyebabkan iritasi pada mata, hidung, dan tenggorokan, serta menyebabkan reaksi alergi, peradangan, dan juga infeksi. Sampai kapan hal ini akan terus terjadi?
Mungkin kita tidak terlalu menaruh perhatian pada masalah ini karena dampaknya tidak secara langsung kita rasakan atau kita yang kurang peka pada hak-hak yang kita miliki tentang lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Kalau dilihat lebih lanjut, hubungan hak asasi manusia dengan lingkungan hidup sangat erat kaitannya. Hak kita yang sudah dipayungi oleh konstitusi. Hak untuk menikmati lingkungan hidup yang sehat adalah salah satu hak asasi kita sebagai manusia. Dalam Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 termaktub “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Maka, negara menjamin adanya pemenuhan hak manusia akan lingkungan hidup.
Mimin Dwi Hartono, Staf Komnas HAM dalam tempo online menyebutkan bahwa draf deklarasi “Prinsip-prinsip HAM dan Lingkungan Hidup yang dibuat atas inisiatif Pelapor Khusus HAM dan Lingkungan Hidup PBB, Fatma Zohra Ksentini, di Jenewa, Swiss, pada 1994 merupakan instrumen internasional pertama yang secara komprehensif mengaitkan HAM dan lingkungan hidup”. Dengan adanya keterkaitan tersebut, hak asasi lingkungan hidup wajib dijunjung untuk mewujudkan lingkungan yang bersih, sehat, dan aman bagi semua orang tanpa kecuali. Maka, disamping hukum nasional, ada juga instrumen internasional yang mewadahi hak kita ini.
Hak untuk berpartisipasi dan hak atas pembangunan juga erat hubungannya dengan hak atas lingkungan ini. Namun, kemudian menjadi paradoks, pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan yang digadang-gadang sebagai garda terdepan untuk meningkatkan persaingan dalam pasar global. Sumber daya alam yang dieksploitasi, hutan-hutan yang dibakar dan digantikan lahan sawit atau tempat penambangan, dan sejuta bentuk kegiatan yang sejatinya dapat merusak alam sebagai dalih untuk meningkatkan produksi dan mengarahkan pada kemajuan ekonomi.
Upaya yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup, bisa dimulai dari diri sendiri. Lingkungan hidup sejatinya bukan hanya digunakan manusia untuk memuaskan kebutuhannya, tetapi juga manusia menganggap lingkungan dan alam semesta ini memiliki nilai yang berharga. Sonny Keraf, Mantan Menteri Lingkungan Hidup RI 1999-2001 menyebutnya dengan etika biosentrisme. Penghormatan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan hak lingkungan harus terus dijunjung tinggi. Lingkungan harus menjadi subjek dalam penegakan hukum akan lingkungan hidup, bukan sekadar objek yang terus menerus dihabiskan.
Bumi Lancang Kuning yang indah ini masih memiliki harapan. Korporasi harus menata sendiri kewajiban yang harus dilakukan terutama dalam bidang lingkungan hidup. Pemerintah tegas melakukan kontrol. Praktek korupsi dalam pengelolaan sumber daya, mafia suap, dan ‘raja-raja’ lainnya yang sering melegalkan prosedur hukum demi menggerus kekayaan alam mengakibatkan semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup. Penegakan hukum tidak boleh pandang bulu. Siapapun yang melanggar harus ditindak secara tegas. Negara tidak boleh tunduk pada kekuatan korporasi. Nyatanya berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung tahun 2009 dan 2010, para pelaku kejahatan lingkungan diproses secara hukum mendapat hukuman ringan dan sebagian besar dari mereka adalah para pelaku di lapangan. Namun, lebih dari itu yang utama adalah tindakan preventif yakni pihak berwenang tidak boleh mengeluarkan izin disaat prasyarat salah satunya syarat lingkungan hidup seperti amdal (analisis mengenai dampak lingkungan hidup), izin lingkungan, dan dokumen perizinan lainnya tidak dipenuhi.
Sejatinya pengelolaan lingkungan hidup yang baik dilakukan secara berkelanjutan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Instrumen hukum tentang lingkungan seperti Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, implementasi yang didukung penegak hukum yang handal, dan tentunya tidak hanya korporasi dan pemerintah yang perlu mengambil peran. Tapi kita semua sebagai masyarakat. Kita yang harus selalu merawat lingkungan kita, misalnya dengan melaporkan jika menemui kegiatan ilegal yang merusak lingkungan, lebih peka akan sumber daya alam Indonesia yang kaya, karena disanalah generasi mendatang menggantungkan hidupnya. Pelajari alam, cintailah alam, dan jatuh cinta berkali-kali untuk alam. Karena alam yang memberi kita arti kehidupan.