Mohon tunggu...
Maria Anindita Nareswari
Maria Anindita Nareswari Mohon Tunggu... -

http://mariaaninditanareswari.blogspot.com/ https://twitter.com/EsiMaria https://www.iom.int/sites/default/files/country/docs/indonesia/Human-Trafficking-Forced-Labour-and-Fisheries-Crime-in-the-Indonesian-Fishing-Industry-IOM.pdf

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

YB Mangunwijaya: Teladan bagi Pemuda yang Menggembala

28 Januari 2015   17:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:13 1264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14224158431319473871

Menjalani kehidupan sebagai anak di zaman sekarang ini merupakan tugas perutusan yang seharusnya kita emban. Bukan salah kita, terlahir di zaman sekarang dimana semua serba enak. Apa-apa tersedia, mau cari beragam ilmu dan berita tinggal cari di internet atau membaca buku di perpustakaan. Salah siapa kalau yang terjadi malahan daya berjuang yang kurang? Salah siapa kalau “kalah” unggul dengan orang-orang zaman dulu yang dengan keterbatasan utuh namun memiliki pengaruh. Kalau meminjam istilah Y.B Mangunwijaya, yang kita kenal akrab dengan Romo Mangun,  persoalan ini tentu tidak bisa dibandingkan. Tidak ada yang bisa disalahkan. Zamannya berbeda, cara berjuangnya juga berbeda.

Disinilah Romo Mangun mengajak kita bangkit. Pembahasan akan sosok rohaniwan sekaligus arsitek, novelis, esais, sering diceritakan saat saya bersekolah dahulu di sekolah Katolik, namun membaca dan mendalami karya beliau pun malah saya jarang. Hanya sekedar tahu dari orang. Karya Romo Mangun yang membela kemanusiaan dan keadilan, memperjuangkan mereka yang terpinggirkan adalah suatu teladan mulia. Patut kita terapkan dalam hidup kita, tentu dengan cara kita sendiri. Baru akhir-akhir ini, entah apa yang menggerakan saya untuk menggenapi rasa penasaran saya akan artikel-artikel yang pernah ditulis Romo Mangun, walaupun tidak seluruhnya saya baca.

Dorongan Romo Mangun ‘mendesak’ kita anak muda, putra-putri Indonesia, yang hidup dalam negara yang merdeka sudah lebih dari setengah abad, seharusnya bisa lebih maju dari generasi dahulu hasil pendidikan budaya kolonial. Jangan pernah merasa nyaman dengan kemanjaan akan teknologi dan materi yang mungkin ada di sekitar kita. Perbuatan Romo Mangun berikut kiranya menjadi pedoman bagaimana kita menjalani tugas kita sebagai umat yang masih menggembala di dunia ini.

sumber gambar:

http://www.tokohindonesia.com/tokoh/article/282-ensiklopedi/2542-yb-mangunwijaya

Pejuang Kemanusiaan

Kemanusiaan lekat dengan agama. Ya, memang itu tujuan agama. Kalau boleh meminjam istilah indah penuh makna ini, semakin memanusiakan manusia. Bukan doa khusuk panjang supaya didengar, tapi iman yang menghidupi mereka yang membutuhkan uluran tangan. Berbelas kasih kepada sesama. Jiwa kepemimpinan yang dibalut dengan jiwa sosialnya yang tinggi dibuktikan dengan karya beliau untuk warga miskin di Kali Code. Beliau yang memperjuangkan keadilan warga Kali Code yang akan digusur. Pelayanan yang mulia lewat pemukiman di pinggiran Kali Code yang beliau rancang sedemikian rupa menjadi tempat hunian yang nyaman, bersih, dan sesuai dengan tata ruang wilayah. Penghargaan internasional pun beliau raih dari “gebrakan”nya.

Cinta Seni

Beliau menghargai karya seni. Seni bagi saya sendiri adalah separuh dari kehidupan ini. Tidak seluruh karya sastranya saya baca, tapi saya sungguh meresapi beberapa diantaranya. Burung-Burung Manyar, salah satu novel beliau yang membuatnya mendapat penghargaan sastra se-Asia Tenggara, Ramon Magsaysay pada 1996. Penghargaan di bidang arsitektur beliau dapat, di bidang seni tak ketinggalan juga. Betapa Romo Mangun membuat kita semangat jika kita mengerjakan sesuatu dengan hati dan untuk kemaslahatan bersama, Tuhan akan membantu menyempurnakannya.

Kalau mayoritas orang lebih menganggap pendidikan segi kognitif adalah “segalanya”, tidak dengan Romo Mangun. Ia mengedepankan pendidikan akan bahasa, budaya, dan seni sama dan mungkin lebih penting. Orang dengan membusungkan dada bangga akan materi yang dimilikinya. Tapi, Romo Mangun menjunjung tinggi nilai yang lebih dari sekadar materi. Ada budaya, etika, moral yang mungkin tak bisa dinilai dengan materi, berapapun jumlahnya. Kalau orang berpikir dengan materi segala kebutuhan tercukupi, mereka keliru. Seseorang akan mati tanpa adanya suatu kebudayaan yang ada di hidup mereka.

Cinta Lingkungan

Di Keuskupan Agung Semarang, isu lingkungan menjadi salah satu dari 4 perhatian Arah Dasar 2011-2015. Dalam salah satu ordo Katolik, yaitu Serikat Jesus (SJ), kerusakan lingkungan masuk dalam arah programatik. Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) sendiri memlliki 3 keprihatinan yaitu kemiskinan, radikalisme agama, lingkungan hidup. Jadi intinya lingkungan hidup ini masih menjadi perhatian gereja, di Keuskupan mana saja seluruh Indonesia.

Budayawan, novelis, pengarang, arsitek dan pembela rakyat kecil yang lahir di Ambarawa ini dalam artikelnya di Kompas yang berjudul “Sesudah Global-500 Award dan Rio de Janeiro”, mengkritik kebijakan di bidang lingkungan seringkali hanya menguntungkan segelintir pihak dan semakin melemahkan mereka yang terpinggirkan dan tidak punya posisi. Peraturan di bidang pertanahan atau agraria tidak diimplementasikan dengan baik, serta sanksi minim bagi yang melakukan pelanggaran akan lingkungan hidup. Yang dihukum selama ini baru pelaku lapangan, namun otak dan aktor utamanya lepas dari jerat hukum. Ia menaruh keprihatinannya juga pada petani. Ia mengkritik lahan yang semakin tergerus oleh kepentingan hedonis korporasi. Tanah yang diperjuangkan rakyat kalah oleh tawar menawar pihak yang berkuasa.

Keprihatinan ini sudah tertuang dalam dokumen Gereja, sudah sering menjadi pesan bagi kita untuk turut serta melestarikan lingkungan. Tinggal kita yang mau melaksanakan atau hanya sekedar niat tanpa aksi. Harusnya kita ikut merasakan dampak perubahan iklim dari lingkungan yang semakin rusak, tapi apa benar kita sungguh mau peduli? Atau memang sebenarnya kita tidak pernah merasakan dampak perubahan iklim? Hal ini tentunya bisa jadi permenungan kita bersama.

Akhir kata

Romo Mangun tidak hanya milik umat Katolik, romo Mangun milik Indonesia, milik kita semua. Tahun baru sudah menatap, persoalan di negara ini hadir bertubi-tubi. Apapun peran kita, mari tetap melakukan sesuatu yang semakin “memanusiakan manusia” seperti yang Romo Mangun telah lakukan. Hindari kemalasan dan sifat ingin segalanya serba instan.

Romo Mangun telah memberi contoh pada karya kemanusiaannya, memperjuangkan harkat mereka yang terpinggirkan. Ia berjuang untuk kehidupan manusia yang lebih baik. Istilah Romo Mangun,  kemanjaan borjuis dan mental priyayi mapan yang sudah puas dengan kenikmatan diri, harus dihindari. Apakah mau menjadi seperti itu? Tidak tentunya. Romo Mangun, sungguh kami ingin meneladanmu.

Maria Anindita Nareswari, 27 Januari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun