Pasti anda pernah mendengar Presiden Joko Widodo mengikuti turnamen olahraga panahan beberapa waktu lalu, bukan? Olahraga yang diikuti oleh Presiden adalah panahan modern. Berbeda dengan yang ada di Yogyakarta tepatnya di Puro Pakualaman, olahraga panahan tradisional menjadi daya tarik tersendiri.
Sekilas tentang sejarah panahan tradisional Puro Pakualaman. Atas prakarsa Sri Paduka KGPAA Paku Alam VIII, pada tanggal 12 Juli 1953 di Puro Pakualaman Yogyakarta didirikan Persatuan Panahan Indonesia (PERPANI). Olahraga panahan tradisonal ini disebut juga Jemparingan. Jemparingan / panahan ini diambil dari kata ‘manah’ yang berarti hati. Falsafah memanah dari Paku Alam VIII sendiri adalah “tidak akan berhenti memanah kalau belum bisa memanah hatinya sendiri”.
Menurut pelatih jemparingan Ir Rimawan, jaman dahulu, memanah dilakukan dengan menarik anak panah kearah hati tubuh kita kemudian baru dilepaskan, berbeda dengan sekarang memanah dengan menarik anak panah ke dekat telinga atau pipi kita lalu dilepaskan.
Jemparingan dilakukan dalam posisi duduk, membentangkan busur dan melepaskannya di sasaran tembak. Untuk sasarannya bukan sasaran target seperti perlombaan internasional yang bundar. Melainkan bentuknya seperti batang lurus berwarna merah dan putih dengan diameter 5 cm dan panjang kurang dari 30 cm, sangat menguji ketajaman mata kita. Nilai tertinggi bisa kita raih jika dapat menembakkan anak panah pada target batang berwarna merah. Jarak sasaran tembak biasanya 30 meter. Karena termasuk tradisional, busur panahnya pun tidak memiliki alat bidik seperti busur panah modern serta bukan buatan pabrik namun buatan tangan (hand made) dengan bahan materialnya terbuat dari kayu dan bambu.
Putra dari KGPAA Paku Alam VIII yakni KPH Indrokusumo sebagai pengangeng kawedanan budaya dan pariwisata menuturkan, untuk menekuni olahraga panahan disarankan untuk memiliki alat pahanan sendiri, karena alat-alat tersebut perlu diperlakukan secara khusus. “Alat itu perlu diperlakukan secara khusus. Katakan saja ada orang yang emosional sehingga bukannya ditaruh tapi dilempar. Jadi tiap individu itu sendiri-sendiri (alatnya). Karena melihat kebiasan orang, alat itu diperlakukan seperti apa karena setiap orang berbeda-beda emosinya,” ujar KPH Indrokusumo.
Olahraga panahan memiliki manfaat. Untuk melakukannya dibutuhkan konsentrasi dan ketajaman serta akurasi yang tinggi. Kita bukan hanya sekadar menarik dan melepas anak panah, tetapi kita dilatih untuk fokus, mengatur emosi, konsentrasi, teliti, percaya diri dan cepat dalam mengambil keputusan.
“Dalam olahraga panahan kita dilatih untuk kecepatan dalam mengambil keputusan dalam situasi atau waktu yang tidak panjang atau mepet.Misalnya dalam satu periode atau satu rambahan ada 4 anak panah yang dilepaskan dalam waktu 3 menit. Jadi waktu kita membidik diharuskan cermat akan situasi. Sewaktu kita menarik busur panah bisa saja sedang tidak ada angin, namun saat kita melepaskan anak panah, di tempat sasaran kita kemungkinan anginnya kencang dari berbagai arah. Dari kecermatan itu kita memperhitungkan bahwa dalam kecepatan angin tersebut, anak panah yang kita lepaskan itu bisa bergeser atau tidak dan lurus pada target yang kita inginkan. Maka dari itu, bidikan kita juga kita geser dalam waktu yang cepat, sehingga kita harus tepat dan cepat dalam mengambil keputusan,” jelas KPH Indrokusumo.
Beliau menambahkan jika kita ingin lihai dalam memanah, kita tidak harus setiap hari memanah dengan melepas anak panah. Sesekali kita bisa lakukan dirumah cukup dengan latihan kering yakni seperti menggunakan busur panah seperti saat kita memanah dan membidik namun tidak perlu melepaskan anak panahnya, sehingga kita cukup menarik dan mengulur busur panah saja. Hal ini dilakukan agar bahu dan tangan kita bisa terbiasa dalam merasakan tarikan busur panah.
*prima
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H