Mohon tunggu...
Humaniora Artikel Utama

Uang Haram Sang Sopir Taksi

26 Agustus 2015   10:51 Diperbarui: 13 April 2016   16:29 9489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih terbayang lezatnya Bakso President yang saya santap semalam bersama keluarga sesaat sebelum saya naik kereta ini. Ingin rasanya tinggal beberapa hari lagi di Malang menikmati udara sejuk dan kuliner yang unik dan beragam, tetapi apalah daya saya harus kembali lagi ke Yogyakarta. Kereta api ini cukup nyaman bagi saya, Malioboro Ekspress kelas Eksekutif Rp 210.000,00 per kursi. Saya bisa tidur lebih santai, nyaman, tidak terlalu ramai, dan kondisi lebih aman. Tetapi yang namanya perjalanan jauh sekalipun sudah kelas eksekutif tetap saja badan terasa capek sekali. Terbangun dan tertidur lagi di dalam kereta api sambil berkali-kali melihat jam tangan saya. Saya berharap jam segera menunjukkan pukul 4 pagi, yang berarti saya sudah akan sampai di Stasiun Tugu Yogyakarta. Ternyata masih pukul 01.30 pagi, saya tarik selimut saya dan kembali tertidur hingga terdengar sayup-sayup suara pengumuman di kereta bahwa saya sudah sampai di Stasiun Tugu Yogyakarta. Saya langsung bersiap-siap untuk turun dari kereta ini. Welcome back to Yogyakarta!

Kost saya masih terkunci di jam sepagi ini, jadi saya menunggu sampai jam 6 pagi dan berencana pulang dengan taksi. Untung saya membawa laptop dan mobile wifijadi saya bisa menunggu sambil menonton film di internet. Tempatnya cukup nyaman hanya saja masih banyak asap rokok disekitar tempat duduk yang saya duduki. Saya duduk di kursi panjang yang dikelilingi para pedagang yang berjualan di area tersebut.

Jam sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi, film yang saya tonton pun telah usai. Rasa capek dan kantuk campur aduk menjadi satu. Tak sabar rasanya saya ingin berjumpa dengan kasur saya yang empuk itu. Saya bergegas berjalan ke arah pintu keluar yang sekarang berganti arah, dulu seingat saya, saya harus melewati terowongan terlebih dahulu untuk keluar menuju arah Pasar Kembang tapi sekarang saya tidak perlu melewati itu, saya hanya jalan sedikit saja, ada beberapa satpam yang memberitahukan arah keluar.  

Hal yang tidak saya sukai ketika keluar dari stasiun atau bandara ialah para sopir taksi atau calo atau mungkin preman yang berlomba-lomba menawarkan taksinya atau kendaraannya. Kebanyakan mereka menawarkan secara paksa dan selalu membuntuti saya sambil menanyakan, “Mau kemana, Mbak?” atau bahkan sering juga tanpa basa basi atau perintah apapun mereka langsung membawa tas saya untuk digiring ke arah kendaraan mereka. Karena saya sudah berkali-kali keluar masuk stasiun dan bandara, saya akhirnya tahu bagaimana menghadapi “Bapak-bapak” ini, jika saya berkali-kali menolak tetapi mereka tetap ngotot maka saya akan berkata “Maaf saya sudah dijemput” dan ini selalu berhasil setiap kali saya berkata itu. Mereka akan menyerah dan meninggalkan saya sendiri. Begitu pun situasi pagi ini. Saya menolak berkali-kali dan beberapa dari mereka membuntuti saya, akhirnya saya menggunakan trik saya tadi, “Maaf Pak, saya sudah dijemput.” Lagi-lagi jurus ini berhasil.

Berdasarkan pengalaman saya selama ini, banyak sopir taksi yang nakal di sekitar stasiun. Entah ada perjanjian apa di daerah sekitar situ saya kurang begitu paham. Mereka jarang sekali menggunakan ARGO (harga yang tertera ketika kita naik taksi). Sopirnya cenderung kasar, cuek dan menurut saya sedikit menyeramkan. Mereka selalu menetapkan harga di atas harga normal menggunakan ARGO. Memang Taksi yang berada di Bandara Adi Sucipto juga melakukan hal yang sama, mereka menetukan tarif sendiri berdasarkan jarak tempat tujuan dan harga memang di atas normal. Tetapi hal ini menurut saya masih wajar dan sangat bisa dimaklumi karena dari awal kita tahu bahwa harga sekian untuk jarak sekian. Dan itu sudah ada tempat khusus seperti counter dan petugas resmi yang mengatur taksi-taksi tersebut bahkan kita juga tidak membayar langsung ke sopir taksi tetapi ke petugas resmi tersebut. Berbeda dengan sopir-sopir yang berada di sekitar stasiun. Mereka lebih mirip preman bermobil daripada sopir taksi.

Maka dari itu, biasanya saya akan berjalan sedikit lebih jauh dari stasiun dan mencari taksi disana. Tetapi berbeda dengan pagi ini. Hal ini membuat raut wajah saya berubah menjadi masam. Saya jengkel dalam hati kenapa saya lagi-lagi bertemu sopir taksi jenis ini. Setelah saya terbebas dari para “Bapak-bapak” tadi saya langsung menuju pintu keluar, saya lihat ke kanan dan ke kiri, jalur mana sebaiknya saya pergi untuk jalan. Baru beberapa langkah saya melihat taksi Merah, dalam hati saya bertanya-tanya apakah ini taksi yang normal atau taksi preman. Karena saya berpikir bahwa taksi ini sedang berjalan saat saya akhirnya memberhentikan taksi tersebut, saya berasumsi bahwa taksi ini bukan taksi preman ternyata saya salah. Ketika Sopir taksi ini (untuk selanjutnya saya sebut Bapak BS) berhenti dan langsung mengeluarkan uang Rp 2.000,00 untuk tukang parkir padahal saya tahu Bapak BS ini tidak parkir disitu, saya langsung tahu Bapak BS ini sopir taksi preman. Bapak ini langsung menjalankan taksinya dan bertanya, “Kemana, Mbak?” tanpa menyalakan ARGO. Saya menjawab nama daerah yang saya tuju dan Bapak BS ini menjawab, “ Rp 30.000,00 ya dek!”. Well, biasanya saya hanya habis kurang dari Rp 20.000,00 tetapi karena minimal taksi Rp 20.000,00 atau terkadang ada taksi yang minimalnya Rp 25.000,00 atau bahkan Rp 30.000,00, saya selalu membayar dengan harga minimal. Sebenarnya harga taksi yang diberikan menurut saya tidak masalah, menurut saya harga tersebut masih bisa ditoleransi, tetapi cara ilegal yang dilakukan Bapak BS inilah yang membuat saya geram. Apalagi ketika saya tanya, “ Lho, kok ga pakai Argo, Pak?” dan Bapak BS ini menjawab, “ tidak”. Sebenarnya saya ingin langsung keluar atau berkata langsung ke bapaknya kalau saya tidak jadi naik taksi ini, tetapi tentu saja sopir ini tidak akan memberhentikan taksinya. Menurut saya ini sangat tricky. Dia sengaja menjalankan taksinya sambil menanyakan arah tanpa menyalakan ARGO, mau tidak mau penumpangnya akan tetap membayar dengan sejumlah uang yang diminta sopir taksi tersebut.

Sepanjang jalan saya menggerutu dalam hati, dan bertanya-tanya sendiri apa yang seharusnya saya lakukan. Saya juga sedang tak punya tenaga untuk berargumen dengan Bapak BS ini. Gerak geriknya aneh, seolah-olah saya ini penumpang yang sangat polos dan mudah untuk ditipu. Saya sangat yakin apa yang diperbuat Bapak BS ini salah, apapun motivasinya. Dan ternyata benar, dia mengira saya tidak melihat apa yang dia lakukan atau dia tahu saya melihatnya tetapi tak mempedulikan itu, di tengah jalan kira-kira 12 menit sebelum sampai ke kost dia menyalakan ARGO-nya mulai dengan harga Rp 6.000,00. Setelah ARGO berjalan sampai dengan harga Rp 10.000,00 kemudian dia mematikan ARGO-nya lagi padahal belum sampai kost. OH MY GOD!!!

Hanya ada dua hal yang muncul dalam pikiran saya saat itu, yang pertama langsung membuat catatan di sosial media dan yang kedua adalah melaporkan hal tersebut ke Armada Taksi dimana Sopir BS bekerja. Sudah sangat jelas saya melakukan hal yang pertama. Tetapi untuk hal yang kedua saya sedikit was-was takut nantinya saya yang diteror karena Bapak BS ini tahu posisi dimana saya tinggal. Andai saja saya punya kamera tersembunyi di kacamata saya seperti yang ada di film-film Hollywood. Mungkin saya akan merekam semua gerak-gerik Bapak BS ini. Saya bisa langsung memberikan video itu sebagai barang bukti ke Armada tersebut, sehingga kejadian penipuan seperti ini bisa diminimalisir. Pastinya pihak Armada memiliki kebijakan tersendiri dalam mengatur para pegawai taksinya.

Tak sampai berhenti disitu saja, sesampainya di kost saya langsung mengubungi teman saya. Saya penasaran berapa sebenarnya penghasilan mereka hingga mereka melakukan hal-hal ilegal dengan pekerjaan itu. Dan akhirnya saya menemukan jawabannya. Berdasarkan informasi yang saya dapatkan ketika berdiskusi dengan teman saya, Argo merupakan bagian yang penting ketika kita menggunakan taksi. Mengapa demikian? Karena hal ini berpengaruh dengan jumlah setoran yang akan disetor sopir taksi tersebut kepada armada taksi. Kemudian saya bertanya kepada teman saya, bagaimana sistem penggajian mereka apakah hanya berdasarkan setoran itu atau mendapatkan gaji bulanan juga. Teman saya menjelaskan bahwa sopir taksi memiliki gaji bulanan ditambah komisi dan tips yang diberikan oleh penumpang. Dan rata-rata penghasilan sopir taksi yang ada di Indonesia yaitu sekitar Rp 1.500.000,00 sampai dengan Rp 3.000.000,00. Tanpa saya sadari ternyata dengan saya tidak mengambil kembalian saya, saya turut berkontribusi dalam penghasilan mereka, terhitung sebagai tips mereka. Saya tentu dengan senang hati mungkin akan lebih sering melakukannya. Tetapi tentu saja hanya ketika Sopir Taksi tersebut jujur.

Apapun alasan yang diberikan Bapak BS ini, entah karena kekurangan uang, gajinya tidak cukup, banyak kebutuhan yang harus dimiliki atau mungkin ada hutang yang harus dibayar tetap saja perbuatan itu ilegal dan uang yang dia hasilkan dengan cara seperti itu adalah uang haram. Tak berbeda dengan uang hasil curian dan hasil korupsi. Memang saya tak punya hak untuk menghakimi seseorang atas cara dia mencari rejeki, saya bukanlah Tuhan. Tapi bukankah kita hidup untuk saling mengingatkan satu sama lain untuk hidup benar dihadapan Tuhan dan manusia?

Mungkin saat ini, entah itu di Yogyakarta atau di kota-kota lain masih banyak Bapak BS yang lain. Tetapi pengalaman ini memberikan pelajaran penting bagi saya, yaitu:

  1. Lebih baik cari taksi di sepanjang jalan Malioboro karena lebih aman, biasanya mereka menggunakan ARGO,
  2. Hanya naik taksi menggunakan ARGO, kalau tidak mau lebih baik turun dari taksi dan cari taksi yang lain,
  3. Sebisa mungkin memberi tips kepada Sopir, karena Rp 5.000,00 atau bahkan Rp 2.000,00 sangat berarti bagi mereka,
  4. Berdoa bagi mereka agar mereka lebih semangat bekerja dan dengan cara yang benar tentunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun