“Siapa dia?”
Percaya adalah sebuah keyaninan akan suatu hal. Yakin akan apa yang kita pikir itu benar. Yakin terhadap pandangan kita sendiri. Termasuk yakin pada pepatah kuno. Di mana mereka percaya bahwa cinta berawal cinta berawal dari benci dan benci berawal dari cinta. Jika kita bisa melihat dengan baik dan dengan otak yang jernih, pepatah ini benar adanya.
Pepatah itu kian melekat di hidupku. Di saat aku mulai merasakan dan masuk ke jaman di mana kau melihat dunia yang sebenarnya. Yah, di saat kau menulis cerita naskah drama sendiri. Melupakan dan dilupakan seolah telah menjadi naskah yang palong banyak dibuat. Sehingga lahirlah cinta dan benci.
“Lucu ya kau membaca tulisan ini. Sampah yang tak jelas harus diapakan. Pergi saja kau, cukup baca sampai sini. Tak ada gunanya.” Tembok putih pucat mendengarkan aku dalam diam. Bisu semua kalian. Lampu melihat dengan cahaya, menempel di langit-langit.Dia terlihat seakan ingin meledak melihat aku. Aku berjalan di loronh, menyeret sebuah kursi tua. Entah ingin kemana aku. Aku hanya bisa teriak dalam gelap dan ikatan rantai panas.
Panas rasanya malam ini. Cahayapun begitu terang di kamar. Tapi kenapa bisa begitu panas ya? Terbakar saja rasanya rumah ini. Selimutpun tak aku pakai. Tak tahan aku, bangun sajalah. Dalam sepersekian detik ketika aku membuka mata, teriakan memenuhi ruangan diiringi dengan suara besi jatuh. Menggores lantai keramik seakan menggambarkan tanjamnya besi itu.
Berlari aku membuka pintu. Langit-langit dan tembok dipenuhi warna hitam gosong dan merah keoren-orenan menelukis warna itu. Begitu indahnya menggores dinding seolah ingin mengganti warna dinding putih rumahku. Saat aku lihat ke arah lantai bawah, darah menggenang di lantai. Sebagian ikut terbakar bersama tarian sang api. Seseorang berdiri tegak di antara warna merah bercampur oren itu. Melihat ke arah aku dengan tatapan kosong. Lucunya itu adalah dia. Dia yang telah membunuh aku dan keluargaku. Masuk kembali aku ke kamar, melarikan diri dengan lompat dari jendela.
Ayah, Ibu, Kakak, dan aku sedang makan bersama di meja makan. Beberapa saat kemudian kekasihku Aji datang. Orang tua aku memang berencana mengundang dia makan malam bersama lagi. Dia datang membawa bunga. Bukan hanya untuk aku saja namun yang lain juga. Lucunya dia membawa bunga yang tak bertangkai dan menyisakan kelopaknya saja. Seolah dia ingin pergi melayat. Dia membawanya dengan tangisan tergambar di wajahnya. Ayah marah kepada Kakak dan Kakak hanya bisa terus membantah. Mereka sama-sama mengadu nada tinggi mereka. Ibu berteriak meminta tolong kepada Aji, namun Aji tak bergeming dan terus menangis. Amarah Ayah mencapai puncaknya. Diamblnya pisau dan melemparkan pisau ke tubuh Kakak. Menembusnya, membuat Kakak jatuh ke dalam pelukan aku. Saat ku dekap tubuh kakakku ini aku seolah merasakan luka yang dia terima.
Malam hari aku terbangun di sebuah tempat dimana semua orang sakit di rawat. Ya, rumah sakit. Suara seorang wanita beriringa mengikuti suara monitor yang memantau keadaanku. Aneh, aku melihat tubuhku di sana. Setengah hangus terbakar dalam kantung mayat. Ayah dan Kakak pun ada. Di mana Ibu dan Aji? Ku ambil telepon rumah sakit. Aku bertanya kepada pihak kepolisian. Namun tak ada yang menjawab dan mereka hanya terus bertanya siapa aku dan marah-marah. Di mana Ibu aku? Di mana Aji? Tiba-tiba kudengar tangisan seorang laki-laki. Aku berlari mencarinya. Berharap dapat mengingatnya suara. Siapa tahu aku dapat menemukan siapa yang membunuh keluargaku.
Tiba-tiba dari belakang ada yang memegang pundak aku.
“Jangan berlari, kau menakuti semua orang. Mereka kebingungan melihat kau berlari.”
“Kakak?! Aku hanya ingin mengetahui siapa yang membunuh kita kak.”