Cahaya telah bangun, menembus setiap celah yang dapat dia lewati. Membuat gelapa bersembunyi di balik bayang. Sungguh lelah mata ini untuk terbuka, namun apa daya tak ada pilihan lain untuk tetap membukanya. Beranjak aku dari kasur, pergi menuju kamar mandi. Terlihat di cermin bengkak dan bekas tangisan di mata ini. Aku hanya bisa melihat ke cermin dan tak ada yang dapat aku lakukan atau ucapkan untuk menyemangati diri aku sendiri. Benar-benar hancur rasanya aku. Sungguh, aku berpikir kenapa aku bisa menangisi hal bodoh yang tak pantas aku tangisi.
Waktu telah menunjukan pukul 6.34 am, aku telah mandi dan mengenakan pakaian untuk berangkat ke kampus. Namun badan ini rasanya tak ingin meninggalkan satu-satunya tempat di mana aku bisa mengungkapkan segalanya, di mana aku bisa jujur kepada dunia. Di mana dunia dapat melihat betapa aku begitu tak berguna dan selalu ditinggalkan oleh orang yang aku sayangi. Ketukan pintu terdengar memenuhi kamarku. Memberikan tanda bahwa aku harus segera pergi agar tak ada kekhawatiran yang mengikutiku terus. Keluar aku dari kamar ini dan terlihat sesosok wanita paruh baya menunggu dan terlihat jelas ada tanya di wajahnya.
"Baru bangun?"tanya Mama.
"Iya Ma, saya terlambat sedikit hari ini. Karena itu saya akan segera berangkat. Untuk sarapannya saya bisa membeli roti di jalan," ucapku sambil berpamitan dan mencium pipi Mama kemudian mengambil kunci mobil di meja dan langsung berangkat.
KAMPUS, kenapa tempat seperti ini selalu bisa menjadi salah satu saksi cinta paling menarik dari setiap peristiwa asmara selain SMA? Keluar aku dari mobil, aku berusaha langsung menuju ke kelas dan tidak memperdulikan sekitar. Masuk aku ke dalam kelas. Tak sempat aku duduk, aku melihat sesosok pria duduk di bangku aku dengan wajah yang fokus melihat ke arah luar jendela. Sebelum dia menyadari keberadaanku, aku mencoba untuk menghindar secepat mungkin. Pergi menjauh. Melarikan diri dari kenyataan? iya, Aku selalu melarikan diri dari kenyataan. Memang pantas kalau kau bilang aku pengecut dan memang seperti itu yang terdapat pada diri aku.
Terduduk aku di batu besar sebelah kantin. Walau tempat ini sebelah kantin, namun tempat ini relatif sepi. Kesenyapan inilah yang membuat aku nyaman. Yang membuat aku merasakan duni dan semua kebohongannya. Tempat yang bisa menjadi pelarian bisuku. Namun jika anda berpikir perpustakaan adalah tempat yang paling tenang, kalian salah. Perpustakaan memang tenang tapi di sana kalian dapat melihat orang yang sedang mencari maksiat bersama orang-orang yang sepemikiran dengan mereka.
"Kamu aku cari kemana-mana ternyata kamu selalu di sini ya." Terdengar jelas suara seseorang yang telah membuat aku masuk dalam mendung. "Kenapa kau harus disini?" ucapku dalam hati dengan penuh kekesalan. Ingin rasanya aku berteriak bahwa dialah alsan aku ada di sini. Dia naik ke atas batu ini dan duduk di sebelah aku.Aku mencoba untuk kembali pergi, namun dia menghentikan aku.
"Kau tak memberi aku ucapan selamat?".
"Untuk apa kau ingin aku memberimu ucapan selamat?".
"Karena aku akhirnya menang.".
"Menang untuk apa? kan kamu tidak ikut lomba apa-apa?" sebenarnya aku tau apa yang dia maksud, tapi aku tak ingin mendengar jawabannya karena aku tau jawabannya itu akan membuat aku semakin jatuh. Andai saja dia tahu aku tak ingin mendengarnya.