Mohon tunggu...
Maria Leony
Maria Leony Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Awal Era Berpendapat

8 Desember 2016   18:09 Diperbarui: 8 Desember 2016   18:17 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mulut terasa diterkam, dikunci, dan dijahit oleh kawat-kawat baja yang amat sulit di lepas. Semua diam, tak ada yang berani bersuara. Entah kenapa hal ini terjadi. Hanya mereka yang berkuasa yang tahu. Semua menanti satu peristiwa, di mana takdir akan berubah. Mengubah pemikiran orang-orang yang berpikir segalanya di tangan mereka. Nama peristiwa yang sangat kita tunggu-tunggu “REFORMASI”.

                Berjalan aku melewati kerumunan yang gaduh berantakan. Semua menjerit, meangis, memohon, marah, kecewa, dan hancur. Keringat dan darah terlihat terus menetes ke jalan Jakarta. Berantakan semua. Lucu rasanya melihat mereka yang dulu tertawa sekarang merasa terancam. Mereka seakan takut semua kekuasaan dan harta mereka musnah. Tertawa aku di sini. Duduk di pinggir jalan yang berdebu dan rusak. Beton-betonnya di rusak dan di lempar ke aparat yang berjajar rapi. Meraka diam namun sangat siap menunggu aba-aba dari atasan. Benar-benar lucu jika kau melihatnya langsung. Sayang semua telah terbakar.

                Masih malam rasanya aku lihat ke atas. Begitu gelap dan sesak rasanya dada ini. Ternyata asap menutupi matahari. Keluar aku dari pintu. Semakin menjadi batukku ketika semua asap masuk ke hidungku. Sekejap aku sesak, sesak melihat apa yang ada di luar setelah kucoba melihat sekitar di balik pekatnya asap. Semua hangus dan panas. Sepi dan gaduh, gaduh akan jeritan anak-anak dan ibu-ibu. Duduk kembali aku dan diam. Memaki dalam hati bagi mereka yang berkuasa. Bersumpah membebaskan tanah airku dari kebungkaman. Hel sepele memang melarang kami untuk berbicara. Mengungkapkan pendapat, keluh, dan kesah. Kapan ya kami dapat berbicara?

                Peristiwa itu masih teringat. Pahit memang, namun kami sekarang senang. Mengungkapkan sesuatu di depan dengan tenang dan perasaan aman. Bebas rasanya mulut kami. Tertawa sudah akhirnya kami. Terkadang berbicara seenak jidat. Tak tahu aturan, perotes sana perotes sini. Tak lihat semua sedang pusing. Namun ini lebih baik. Yang berkuasa akan tahu apa yang kami ingin kan, apa yang kami butuhkan. Tak banyak, hanya kebebasan namun tetap pada aturan. Jangan biarkan kami terbang liar. Mengutarakan semua dengan brutal. Kami memang ingin kebebasan namun kebebasan yang benasr.

                Bebas berpendapat, mengungkapkan pemikiran kita dengan bebas. Tanah air telah bangkit. Memberikan harapan baru bagi kami rakyat biasa. Kesempatan yang begitu kami dambakan. Tak terpuruk lagi dalam bungkam. Dalam rasa takut yang mengerikan. Memang lucu di negara yang di bentuk atas keinginan bebas sempat terperangkap dalam negara sendiri. Ya sudahlah, memang takdir. Setidaknya ini pelajaran bagi kami yang merupakan penerus. Kami tak akan biarkan semua bungkam karena peraturan dan ketakutan.

                Walau sekarang kebebasan berpendapat banyak yang mulai terlewat batas. Banyak orang yang terlalu keras kepala dengan pemikiran mereka. Terlalu berpikir mereka benar sehingga mengganggu keamanan negara. Bertindak anarkis di depan banyak orang. Penuh kekejaman yang melalaikan hak asasi manusia. Namun kita bisa percaya kepada pemerintah. Ini era kebebasan, maka kami harus bisa mempertahankan bahkan memperbaiki untuk menjadi Indonesia yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun