Akhir-akhir ini saya didesak oleh beberapa pihak untuk membeli Blackberry - saya masih pikir-pikir.Lha wong saya ini jarang keluar rumah, dan untuk berita-berita serta peristiwa terbaru, saya masih bisa online lewat ponsel ataupun lewat netbook saya yang setia ini.Kemudian, setelah mengamati beberapa pemakai Blackberry yang adalah teman-teman dekat saya – keliatannya pikir-pikir saya ini masih akan berlanjut lama sekali.
FYI, ponsel saya masih golongan jadul untuk teknologi masa kini - Sony Ericsson W200i - yang memang sudah ketinggalan jaman, tapi fitur-fiturnya sangat memenuhi kebutuhan saya; bisa online dari ponsel walaupun masih pakai GPRS kelas teri.Fitur walkmannya juga sangat menyenangkan diri saya yang harus secara konstan terlibat dengan musik untuk menjernihkan pikiran.Terkadang saya juga pakai fitur YM chat, minimal untuk mengirim kabar singkat atau mengecek offline message.Segini doang, dan saya sudah dikritik “autis” atau “ignorant” (dengan tidak mengecilkan makna autis yang sebenarnya, saya tak bisa menyangkal bahwa istilah ini masih dipakai untuk mengekspresikan ignorance terhadap lingkungan – saya mengerti arti autis yang sebenarnya, dan saya bersimpati terhadap jenis gangguan ini – mungkin lebih baik jika saya pakai kata ignorant) -karena ada saat-saat ketika saya bulak balik login Facebook untuk mengecek komentar - katanya saya tak “ramah lingkungan”, ada orang bicara di depan saya tapi kok saya tidak mengindahkannya.Akhirnya saya belajar disiplin untuk tidak mengutak-ngatik ponsel atau netbook saya ketika ada manusia lain – gimanapun juga interaksi antar manusia itu masih lebih baik bukan?
Blackberry ini menjadi kasus yang cukup heboh tahun lalu, ketika semua orang bisa terkoneksi dengan menggunakan fitur yang dianggap murah (benarkah murah? Operasional membutuhkan pulsa minimal 25ribu) dan cepat.Akhirnya semuaaaa membeli Blackberry, entah untuk tujuan apa, pekerjaan kah, simbol kah?Kibor QWERTY tiba-tiba ngetren abis - kibor jenis ini katanya membuat pengetikan message menjadi jauh lebih cepat dan lancar, tapi alih-alih merasa terbantu, saya ngerasa saya gaptek abis karena saya menemukan kecepatan SMS saya berkurang sampai dua pertiganya.Apakah ini pertanda umur?Mungkin saya sudah mentok abis dan menganggap bahwa dengan menekan satu tuts beberapa kali seperti pada ponsel candy bar, saya bisa membuat SMS yang lebih cepat – bahkan tanpa melihat.Ketika saya disodori QWERTY, keringat dingin mulai keluar dan pikiran saya nge-blank - akhirnya saya menolak sodoran itu.
Blackberry juga membuat saya jengkel dengan bunyi tang tung ting, ctang ctung cting, grok ngok dan sebagainya.Bunyi seperti ini memancing urgensi dari dalam diri saya – urgensi untuk mengecek.Saya mendengar dari para pengguna Blackberry bahwa fitur ini biasa saja; tak ada urgensi untuk mengecek karena toh semuanya bisa menunggu.Jadi dengan tang tung untuk YM, ctang ctung untuk BBM dan grok grok untuk surel, mereka bisa membedakan mana yang harus dibuka terlebih dahulu.FYI, saya ini ada bakat ADHD - bunyi Blackberry alert membuat saya gila.Dan sepengalaman saya, lima dari enam teman saya yang membawa Blackberry akan langsung mengecek bunyi itu – klaim mereka bahwa semua itu bisa menunggu, samasekali tidak berlaku.Bukankah itu tujuan penggunaan Blackberry – untuk tetap terkoneksi?
Dan akhirnya bunyi-bunyi harus diperiksa – dimanapun, kapanpun, no matter what.Peduli amat apakah itu hanya BBM iseng dari grup iseng yang diikuti, toh akhirnya itu membuat alasan bagi orang untuk terlihat sok sibuk di sudut-sudut mall, angkutan kota, ataupun sambil mengantri di toilet.Kelihatannya banyakyang merasa tak bersalah ketika dia mengecek BBM atau surelnya selama makan malam romantis dengan sang pacar atau menikmati hari libur bersama keluarga, tanpa sadar bahwa lawan bicaranya sedang menerangkan sesuatu dengan penuh semangat.Ini juga yang membuat orang menjadi lambat respon ketika ditanya, “Belok ke mana, kiri atau kanan?”Si pengguna Blackberry berkata, “Oh sebentar ya…”sambil mengutak-atik device-nya.Sepuluh sampai lima belas detik yang sungguh terlalu lama untuk respon terhadap tindakan simple seperti belok kiri atau kanan.
Apa sih yang terjadi dengan prinsip “Semua bisa menunggu” atau “Mahluk hidup dulu, baru alat”?Ketika saya sedang berada di mall dengan niatan berbelanja atau melancong, bukankah niatan saya harus dilaksanakan lebih dahulu ketimbang merespon grok grok surel?Saya sudah cukup merasa berdosa karena ketika saya menulis atau bekerja, anak-anak saya mendapat respon yang (untuk ukuran saya) sudah cukup minim; terkadang ignorance saya bahkan meluas sampai berhari-hari.Saya ngeri membayangkan ADHD saya ditambah dengan Blackberry; saya ngeri untuk mencoba.Satu-satunya kekhawatiran saya saat ini adalah jika pasaran ponsel dan device Indonesia memutuskan untuk pro mayoritas dan menghapuskan layanan fitur kelas bawah yang saya miliki, karena mayoritas masyarakat sudah menjadi pengguna Blackberry atau ponsel QWERTY.
Saya berada dalam persimpangan antara gaptek vs hi-tech, kebutuhan akan teknologi vs humanisasi.Salah satu sahabat saya berkata bahwa inilah gaya hidup masa kini; gaya hidup urban.Saya dibuat merasa seperti orang tolol karena saya tidak menggunakan Blackberry, dan dia bilang saya memang tolol karena ada berbagai kode etik penggunaannya– matikan Blackberry ketika mengobrol, tidur, dan berbincang dengan anak-anak.Gimana kalau prinsip itu ditambah lagi dengan “Semua itu ada waktunya”???Apa saya menuntut terlalu banyak dari gaya hidup urban ini? Respon humanis yang lelet membuat saya jengkel;saya tak rela orang melakukan itu pada saya – dan saya tak rela melakukan itu pada orang lain.Akhirnya dengan mayoritas teman pemakai Blackberry yang separuhnya sudah bersikap ignorant, pemikiran bahwa curahan waktu yang saya investasikan untuk mengerti orang lain akan saya alihkan untuk penggunaan suatu device yang membuat saya bersikap ignorant, menjadi pemikiran yang mengerikan.Bayangkan berapa puluh juta alasan yang bisa saya ciptakan dari penggunaan Blackberry, ketika saya terjebak dalam suasana ataupun percakapan yang tidak menyenangkan?Alih-alih berjuang untuk memenangkan simpati lawan bicara, saya akan memilih mengecek status Facebook, Twitter, ataupun mengirim BBM iseng pada orang iseng malang yang online - suatu sikap pengecut dalam membangun network dan sikap tolol dalam mendidik diri saya sendiri untuk berlaku sebagai manusia – interaksi one on one, not one on device.
Akhirnya pertimbangan saya jadi kepanjangan - apa saya sanggup menjadi pengguna tanpa ada ketergantungan?Menjadi sok sibuk atau tampak sibuk tak pernah jadi tujuan saya; kenyataannya saya selalu sibuk.Menjadi orang penting melalui cara itu pun nampaknya cemen sekali; saya nggak sepenting itu sampai hidup saya bisa berubah hanya karena PIN Blackberry – so far pengguna jasa saya bisa dengan mudah menghubungi via e-mail, YM ataupun SMS, dan teman-teman saya yang terdekat selalu online di YM setiap waktu - saya tak pernah menghilang dari dunia kecuali jika saya menginginkannya (dan apakah hak saya untuk menghilang dari dunia akan disita juga oleh Blackberry?) Alat yang harusnya membantu saya berubah menjadi horror device yang harus saya miliki karena semua memilikinya!!
Saya tertawa ketika salah seorang teman saya mengeluh karena BBM nya tak pernah dibalas oleh seorang yang berumur di atas kepala 4. Saya memberi saran simple pada teman saya itu – cobalah SMS.Dua menit kemudian si teman berkata ceria, “Dia membalas SMS-ku!! Thanks a lot sis!!”Buat saya SMS itu sudah cukup sebagai urgensi – keliatannya kontak teman saya itu juga sudah mentok seperti saya - BBM itu tak penting.
Dan mudah-mudahan kejengkelan saya terhadap Blackberry cukup sampai disini saja, biar saya tak dianggap anti kemajuan, hahaha.
Bandung, Desember 2010
(not) Sent from my Blackberry® device :p
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H