Ayah dan ibu saya – dua orang penerjemah yang sangat saya hormati - mengajarkan (secara tidak langsung dan langsung), bahwa dunia yang saya geluti ini (profesi penerjemah), memiliki tiga langkah.Pertama, (saya akan meminjam perkataan seorang kolega yang sangat saya cintai dan hormati), to get your message across – untuk menyampaikan pesan.Kami sebagai penerjemah bertugas untuk memperkecil selisih pemahaman akibat keterbatasan bahasa: memastikan si orang Indonesia mengerti maksud si bule, dan sebaliknya.
Langkah kedua, menambah pengetahuan (untuk kedua belah pihak).Contoh kasus adalah ketika seorang peneliti Indonesia melakukan eksperimen dengan pisang ambon dan ingin menyampaikan hasil penelitiannya kepada dunia ilmiah si bule.Maka sang peneliti meminta bantuan penerjemah untuk membuat si peneliti bule memahami, bahwa pisang Ambon is not just a banana, but a specific kind of banana.Si peneliti akan menuliskan “pisang ambon” dan si penerjemah akan menuliskan: pisang ambon (a banana species which is bla bla bla…).Definisi ini membangun pengertian – si peneliti bule mungkin tidak akan menemukan jenis pisang ini di Amerika, namun setidaknya dia tahu bahwa di Indonesia ada jenis pisang demikian dengan ciri seperti itu.
Langkah tiga – pelokalan - yaitu ketika si penerjemah – dengan berbekal dua prinsip di atas – mengolah suatu teks menjadi bentuk yang bisa dibaca, dinikmati, dikenang, dan menimbulkan perasaan puas – dan berterima untuk budaya pengguna: cross-culture.Saya pertama kali membaca ‘pelokalan’ ketika seorang rekan penerjemah yang saya hormati menerjemahkan serial Enid Blyton mengenai kehidupan sekolah asrama tingkat SMA di Inggris.Waktu itu (tahun 1980-an), Indonesia tidak memiliki sistem asrama untuk SMA khusus wanita.Ketika saya membaca hasil ‘pelokalan’ ini, saya menjadi ingin, bergairah, dan berharap, bahwa semua dalam cerita itu bisa terjadi pada saya – penulis sukses menyampaikan pesan, pembaca sukses menikmati - semua itu dijembatani penerjemah.
Saya ini memiliki nilai bahasa Indonesia yang selalu berakhir di deretan angka terakhir yang terbesar lho. Ini risiko (atau resiko?) yang harus saya hadapi karena memiliki anggota keluarga sepuh yang melakukan revolusi bahasa dan penulisan di tahun 1928.Namun akhir-akhir ini saya merasa seperti sampah yang ketinggalan jaman (atau zaman??), gara-gara hasil pekerjaan saya selalu dianggap tidak berterima oleh para pengkaji bahasa yang tersebar di setiap sudut profesi saya (dan nampaknya mereka tidak lahir dari keluarga yang berbahasa Indonesia atau dengan disiplin bahasa seperti keluarga saya).Saya mulai merasakan perubahan pandangan si klien bule yang sepertinya menganggap saya berbahasa asal saja dan juga tidak mampu menerjemahkan – dan tidak memikirkan pengguna. Komunikasi saya dianggap gagal karena pesan tidak sampai kepada pengkaji (yang kemungkinan besar juga bukan pengguna – saya meragukan kompetensi mereka setelah membaca beberapa ‘usulan’ penggantian istilah yang jelas-jelas tidak berterima di komunitas pengguna sasaran).
Jaman (zaman??) sudah berubah, kata salah satu sahabat saya.Semua penerjemah dituntut untuk memilih dua kubu, pengguna istilah asing atau adaptasi (interface atau antarmuka, surel atau email?) untuk kemudian berbaris rapi ke tempatnya masing-masing, dan berdoa siang malam bahwa si pengkaji memiliki pandangan sama dengan dirinya (yang seringkali gagal, tentu saja… Doa kami tak pernah terjawab, dan steakhouse tetap harus diterjemahkan sebagai ‘stik’ – si pengkaji tentu saja tidak berpikir tentang stik bambu, stik golf, dan stik-stik lain di dunia ini).Saya ini bukan tipe orang nyolot yang suka bertarung, dan jika saya harus menggali buku tata bahasa yang sedemikian tebal untuk mempertahankan pendapat saya (alih-alih mengajukan contoh sederhana bahwa sayapun pengguna) –sepertinya akan percuma karena ego saya vs pengkaji tidak akan pernah bisa menguasai satu sama lain (entah siapa yang tidak dewasa dalam menyikapi hal ini).Mungkin saya akan menang jika mendoakan tangan si pengkaji kram hingga tak bisa menulis di atas keyboard (papan tombol? Papan kunci?... Board of keys??) - itupun kalau tangan saya sendiri tidak kram akibat membalas lembar masukannya yang seringkali berbunyi bagaikan tong kosong dari orang yang mengaku lahir di Indonesia. Akhirnya yang tersisa hanyalah kelelahan mental dan keinginan untuk mengejar si pengkaji menggunakan golok, untuk memaksanya berbelanja cakram keras di toko komputer dengan menggunakan istilah biadab ciptaannya sendiri.
Saya tak mengerti ambisi bangsa ini (if not some) yang ingin melokalkan segalanya. Steak harus diterjemahkan menjadi stik – jelas-jelas makanan itu bukan dari Indonesia.Steak itu apa sih sebenarnya?Apa ada yang pernah berusaha mendalami itu – termasuk mendalami mengapa mouse itu diberi istilah demikian, atau keyboard diberi istilah demikian? Dan apakah kita sendiri rela jika orang bule melokalkan rendang menjadi spicy beef (demi mengirit karakter dalam aplikasi ataupun brosur dan sekaligus memaksakan pelokalan)? Atau pepes ayam menjadi steamed chicken?Dan dengan sangat sedih saya harus mengakui bahwa orang bule kelihatannya lebih menghargai cross-culture karena mereka bersedia menuliskan definisi panjang lebar dalam daftar menu makanan Indonesia, alih-alih menciptakan istilah ngasal yang bisa membuat bangsa ini berteriak.Apa jadinya kalau mereka tahu bahwa steak diterjemahkan menjadi stik(dengan tanpa berusaha menjelaskan definisi panjang lebar mengenai cara grilled, fried, barbequed, dll)?Apa tidak ada satupun dari siapapun yang berusaha mendalami cross-culture – to think before you act (in my case, translate)?
Para pengkaji lahir dari kejengahan massa karena terjemahan yang buruk dan tidak berterima.Ada suatu masa di tahun 2000, ketika materi terjemahan begitu jelek sehingga bangsa ini tidak bisa menarik manfaat. Maka para pengkaji pun turun tangan – semua demi massa (baca: pengguna).Kami, penerjemah yang memerhatikan (euh) keluhan massa, merasa tertarik dan gembira karena adanya suatu revolusi dalam quality control penerjemahan – kami pun (tadinya) bisa menyerap ilmu dari para pengkaji/ editor, dan akhirnya hubungan ini sempat terasa menyenangkan dan melegakan.Namun ada suatu loncatan (entah di mana) ketika akhirnya para penerjemah berubah menjadi penulis asal serap, asal loncat – selama masih berfonem Indonesia – karena terlalu takut kehilangan periuk nasi akibat pengkaji, alih-alih berpikir bahwa terjemahannya akan dibaca oleh mungkin ratusan/ ribuan orang yang memohon agar pesan kultural ini disampaikan.Editor dan pengkaji berubah menjadi manusia brutal keras kepala nan keji yang meminta (setengah memaksa) agar istilah ciptaannya sendiri disosialisasikan – tak peduli bahwa otak yang menerjemahkan adalah bagaimanapun juga manusia lain, dengan konsep lain, pemikiran lain – dan pengetahuan yang lain, dan jelas-jelas si pengkaji tidak mau mengakui bahwa dia bukanlah orang yang tepat untuk menyunting suatu aplikasi perhotelan ataupun game.
Daaaaaaan…. ketika si penerjemah berargumen demi kepentingan pengguna, si pengkaji akan mengeluarkan senjata apapun (KBBI dan daftar istilah yang kemungkinan ia ciptakan sendiri) untuk bertahan mati-matian pada egonya sampai akhirnya si penerjemah capek; situasi berubah menjadi baku hantam alih-alih quality control. Dan siapa yang menang? Ya tentu saja pengkaji – si bule hanya memahami bahwa menurut pandangan manusia lain, si penerjemah ini kurang ilmu dan bergaya buruk - tidak sesuai dengan konsep korporasi si bule yang ‘ramah Indonesia’.Akhirnya situasi ini terlihat bagaikan gambaran dua orang manusia yang berebut periuk dollar, si pengkajidan penerjemah sama-sama berharap untuk bisa lolos dari lubang jarum maut pemahaman Bahasa Indonesia yang ‘baik dan benar’, cross-culture dan globalisasi yang tidak bisa dipaksakan, dan fakta pahit bahwa banyak istilah yang tidak akan bisa diterjemahkan betapapun mereka mencoba – dan pengguna menjadi prioritas paling akhir.
Akhirnya tiga langkah penerjemahan yang diajarkan ayah saya harus diadaptasi satu demi satu, seperti halnya saya mengadaptasi hubungan cinta-benci dengan para pengkaji dan semua klien di luar sana. Saya bangga pada bangsa ini dengan segala usahanya untuk eksis di dunia internasional, namun ketika terjemahan game menjadi kaku, steak berubah menjadi stik, dan semua terjemahan IT telah berubah menjadi momok yang membahayakan definisi dan pengertian saya sebagai orang awam (baca: menimbulkan sakit kepala ketimbang pengertian), saya mulai mempertanyakan bangsa saya seperti halnya mempertanyakan para perwakilan bangsa Indonesia yang berjibaku untuk melakukan cross-culture.Nampaknya semangat untuk “mengindonesiakan” segala sesuatu telah berubah menjadi perang ego tanpa akhir, dengan pengguna awam seperti saya yang menjadi korbannya - saya merasa kurang gaul, bodoh, memiliki gaya bahasa buruk dan tata bahasa setara preman (yang saya yakin bisa menciptakan istilah pertarungan mafia dengan lebih baik ketimbang para intelek bahasa di menara gadingnya).
Saya mengasihani orang-orang bahasa yang hidup di atas sana.Coba sekali-sekali mereka turun untuk membajak sawah bersama kami para pengguna, mungkin mereka akan lebih bisa menghargai komunikasi massa dan berhenti menciptakan (baca: memaksakan) istilah yang membuat rekan sebangsa sakit kepala.Ada waktu dan tempat untuk melakukan semua itu, dan maafkan jika saya yang kurang gaul ini tidak bisa menerimanya – karena saya pergi ke toko komputer untuk membeli hard disk (bukan cakram keras), dan pulang untuk makan steak (bukan stik).
Bandung, 22 Juni 2011
Ditulis oleh seorang penerjemah, penulis, ibu rumah tangga, dan pengguna internet
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H