Entah mengapa, dari dulu pandangan saya terhadap posisi seorang editor adalah bagaikan seorang penasihat kerajaan agung dengan bisikan-bisikan yang tajam seperti silet. Ketika ada editor (dalam kurun waktu 4 tahun saya bertemu dengaan sedikitnya 5 orang editor, tiga di antaranya brilian dan dua lagi adalah tukang jagal) yang dengan tiada ampun menyobek-nyobek – mencacah – menghancurkan hasil kerja saya tanpa alasan, maka sebagai layaknya kebanyakan orang lain yang merasa diperlakukan tidak adil, saya pun sempat berpandangan miring tentang para editor – suatu generalisasi akibat masuk barisan penerjemah sakit hati.
Saya tidak terlalu menyukai kegiatan menyunting karena itu saya selalu berusaha menerjemahkan sebaik mungkin (maksudnya supaya saya bisa melewatkan kegiatan menyunting hasil karya sendiri), namun kelihatannya kebiasaan itu akhirnya membuat beberapa orang bablas berpendapat bahwa saya pasti bisa dan mampu menyunting pekerjaan orang lain. Tahun lalu, seorang teman yang saya kenal sebagai editor meminta saya untuk bekerja sama dan menjadi penyunting hasil terjemahan milik suatu perusahaan mesin terkenal. Saya sangat menyukai perusahaan itu dan bagi saya citra editor di sana menggambarkan seorang penasihat kerajaan yang sesungguhnya. Akhirnya saya berada di sisi lain pertempuran ... betapa luar biasanya perasaan itu. Saya menerima tawaran sang teman dan untuk empat bulan pertama saya merasa bak penasihat kerajaan, the one who walks among the gods.
Keluhan utama saya tentang editor adalah bahwa mereka seringkali tidak bisa menempatkan diri di posisi penerjemah, banyak peristiwa ketika saya menemukan bahwa editor membuka pekerjaan saya, kemudian menyalakan traktornya (???), dan menggilas semua hasil pekerjaan itu sampai isinya berganti menjadi sesuatu yang bernada lain (tulisan dia sendiri??). ‘Tentang’ diganti menjadi ‘mengenai’, ‘untuk’ diganti dengan ‘bagi’, ditambah sejumlah dagelan preferensi lain yang membuat penerjemah merasa menjadi tukang ketik. Saya benci diperlakukan demikian, tapi saya tidak mau berkilah dan mengatakan bahwa saya tidak pernah merasa ingin menggilas, apalagi ketika menghadapi naskah terjemahan dengan bahasa ‘seribu sembilu dalam seribu kata-kata’ (alias tidak enak dibaca). Seringkali terpikir oleh saya bahwa menerjemahkan ulang seribu kata akan memakan waktu lebih pendek ketimbang menyunting seribu kata dengan kesalahan tata bahasa mendasar di setiap tiga puluh ketukan. Saya (masih) mengharamkan penggunaan traktor, sehingga setiap kali menghadapi terjemahan dengan gaya bahasa layak gilas, saya bersandar di kursi kerja, menarik napas panjang, menggaruk kepala yang tiba-tiba terasa amat gatal karena ketombe yang tidak nyata (dan saya bukan salah pakai merek sampo), kemudian berkata kepada diri sendiri, “Kamu ini cuma tukang cuci piring”. Selanjutnya komat-kamit yang muncul adalah “preferential, minor, major, critical” – plus ribuan strategi lain agar si penerjemah tidak dipecat dan saya cepat dibayar.
Namun seringkali saya merasa sedih karena ada saja penerjemah yang minta digilas, dalam pikirannya seolah ada kata-kata, “Tenang, kan nanti ada editor.” Bayangkan dalam sebuah pesta, ketika seseorang mengambil piring lima buah untuk menampung lima jenis makanan yang seyogyanya bisa berada dalam satu piring, karena dia berpikir bahwa si tukang cuci piring pasti ada (“Kalau terjemahan saya rapi, kamu kerja apa dong?”). Sedangkan persepsi editor terhadap dirinya sendiri adalah sebagai penjaga gawang, menjaga jangan sampai ada kebablasan kata-kata yang membuat pengguna berteriak “HAH???” – atau dalam kasus saya sebagai pengguna, menangis dan mencari tombol “translate this page”. Akhirnya saya sebagai editor hanya bisa mengelus dada ketika bertemu lagi dan lagi dengan penerjemah yang merasa bahwa dirinya memiliki kompetensi untuk menerjemahkan sesuatu yang bagi dirinya tak lebih dari sekadar dongeng (sementara ada penerjemah lain yang merasa bahwa keberadaan editor adalah bagaikan mengumpankan jantung ke mulut singa – satu salah ketik dan habislah dia).
Persepsi pengguna vs editor vs penerjemah vs klien adalah satu hal rumit yang harus dijembatani editor sebaik mungkin agar dia tidak terjeblos dalam lubang jebakan Betmen yang bukan miliknya. Bagi saya ini menjadi ekstra rumit karena saya adalah ketiganya (pengguna, editor, penerjemah) dan malahan kadang-kadang berposisi sebagai klien sementara. Preferensi editor seringkali tidak membumi ? Sekarang cobalah berdiri di tiga posisi itu sekaligus dan Anda akan melihat betapa ini adalah suatu akrobat tiada akhir yang melelahkan, hingga pada akhirnya banyak editor yang lebih memilih untuk memanaskan traktornya dan bersiap untuk menggilas, ketimbang memakai celemek tukang cuci piring dan dengan pasrah meraih sabut ampelas. Ketika saya harus memilih antara “shutdown” – tutup padam (WTF??) – matikan – mematikan – pematian (HAH??), dibutuhkan perenungan beberapa saat sebelum akhirnya memainkan silet suntingan, ditambah strategi retorika ala politikus yang bersenjatakan berbagai jenis referensi mulai dari blog sastrawan terkenal sampai dengan KBBI daring, supaya pilihan saya tidak didebat oleh ketiga pihak lain (dan diri sendiri), agar akhirnya laptop bisa dimatikan dan saya bisa pergi tidur tanpa dirundung mimpi berbau linguistik.
Setelah empat bulan pertama bekerja di perusahaan mesin yang saya ceritakan, perasaan sebagai the one who walks among the gods habis sudah, digantikan oleh kesadaran bahwa posisi penasihat kerajaan dalam benak saya tidak pernah ada. Saya adalah: tukang cuci piring, terkadang (dan mudah-mudahan tidak sering) harus jadi operator traktor. Akhirnya, ketika saya memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai editor di sana (karena kondisi kesehatan yang memburuk), saya memahami sebenar-benarnya bahwa editor adalah seorang yang bersembunyi dalam gelap – untuk berjaga-jaga kalau-kalau si penerjemah menganggap pekerjaannya bagaikan ladang kosong yang harus digarap orang lain (tapi dia tetap ingin memanen buahnya).
Pekerjaan yang berisiko, dibayar kecil, menguras otak, penuh dengan kegalauan serta retorika.
Ketika penerjemah bisa memanen buahnya dan pengguna memperoleh pesan naskahnya, maka saat itulah si editor menghilang ... untuk menombok waktu tidurnya yang hilang setelah bergumul dengan ribuan strategi.
To all my fellow editors,
Bandung, 24 Juli 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H