Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Untuk Mengalah Butuh Keberanian

30 September 2024   06:30 Diperbarui: 30 September 2024   06:33 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ingat pepatah Kebijakan Jawa Kuno : "Wani Ngalah Luhur Wekasane" artinya : "Berani Mengalah Mulia Akhirnya". Ya, untuk mengalah dibutuhkan keberanian yang luar biasa. Dan pada umumnya, mereka yang bersedia mengalah berada pada ranah intelegensia, mereka yang memahami bahwa dengan cara mengalah, bukan berarti kalah tetapi untuk mengatur strategi lebih cermat sehingga tujuannya tercapai.

Keberanian yang dilakukan oleh sekelompok orang demi mencapai tujuan yang rendah, tentang urusan keduniawian bukanlah bentuk keberanian, tetapi suatu bentuk ketakutan. Ini terlihat jelas, karena pada kenyataannya, mereka yang seakan berani selalu berteriak keras serta bawa sekelompok orang, bahkan bawa benda yang buat orang takut. Mereka ini beranggapan bahwa hanya dengan jumlah atau banyak orang ingin memaksakan kehendak atas keinginan yang mereka anggap benar. 

Sangat berbeda dengan orang yang memiliki tujuan luhur. Yang dimaksudkan dengan tujuan luhur berarti untuk sesuatu yang mulia. Dengan kata lain, perjuangan yang digaungkan oleh orang-orang ini bukan demi kepentingan atau kelompok tertentu; semata untuk kepentingan bersama. Dengan kata lain, tindakan serta cara pikir mereka selaras dengan sifat alam semesta. Kita mesti selalu ingat bahwa sifat alam selalu memberi dan memberi; inilah sifat kasih.

Perhatikan bunga dan kicauan burung, mereka berkembang dan berkicau semata sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan. Mereka tidak butuh pujian untuk memberikan pandangan yang baik, keindahan bunga. Burung berkicau dengan tulus sebagai ungkapan pujian kepada Hyang Maha Pencipta. 

Perbedaan dua kelompok tersebut di atas sangat jelas. Yang pertama dapat dipastikan menggunakan neocortex atau pikiran kritis, sedangan yang seakan melakukan tindakan berani masih pada intelektual atau kekuatan otot/luar. 

Yang menggunakan neocortex atau pikiran kritis sangat menyadari bahwa cara pandang setiap orang berbeda, karena inilah sifat kebenaran yang memiliki berbagai sisi. Bagaikan keindahan berlian, semakin banyak cutting  pada permukaannya berarti semakin indah serta semakin tinggi nilai harganya. Mereka ingat akan pepatah : "Jangan berikan mutiara pada seekor babi"

Ingat juga pepatah seorang teman yang berasal dari kota Semarang : "Sing waras ngalah" Yang sadar lebih baik diam. Jadi kediaman seseorang tidak bisa dimaknai karena takut, tetapi agar tidak berdebat dengan seseorang yang sangat reaktif semata mempertahankan yang menurut dirinya 'benar'.

Seseorang yang berani mengalah berarti membuktikan memiliki cara pndang yang lebih luas serta bijak. Ia sangat sadar dengan lawan yang sedan dihadapinya. Ah, ternyata kesabaran juga butuh keberanian demi melenyapkan suatu kesalahpahaman yang pada akhirnya merugian kedua belah pihak.

Terinpirasi dari buku Javanese Wisdom by Anand Krishna

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun