Dalam diri setiap manusia memiliki nafsu hewaniah yang harus dimusnahkan atau dikendalikan. Tidak mengherankan bila nafsu kehewaniah ini ada, karena memang ada bagian otak yang disebut limbik. Bagian mamalian brain juga berkaitan dengan sistem limbik yang berkaitan dengan emosi. Sifat dari emosi berasal dari otak mamalia, oleh karena itu ia juga memiliki nafsu hewaniah yang merupakan sifat alami. Dengan kata lain, sesungguhnya dalam diri kita semua mempunyai kebuasan hewan.Â
Watak kebuasan hewan ini bisa dikatakan melebih yang dimiliki oleh hewan itu sendiri. Beberapa kejadian akhir-akhir ini diberitakan di layar kaca. Misalnya, seorang ibu yang tega mengorbankan kehormatan putri kandungnya karena ingin mendapatkan kendaraan roda dua dari kekasihnya. Mungkin kebuasan seperti ini tidak ada dalam sifat buas hewan. Bertta lain lagi, seorang ayah bisa melakukan penganiayaan terhadap keturunannya. Semakin banyak kejadian seperti ini. Hidup dengan hanya menggunakan otak mamalia bisa membangkitakan sifat hewaniah dalam diri manusia.
Dampak yang terjadi akibat ketidakmampuan mengorbankan kehewanian dalam diri kita membuat kita memiliki sifat kebuasan hewan yang dtunjukkan dalam perilaku kita membunuh hewan yang kemudian kita santap. Bolek saja diperhalus dengan istilah dimasah atau dimatangkan, namun demikian tidak menghilangkan adanya sifat buas. Pernahkah kita berpikir : "Relakah mereka, kita bunuh sebagai makanan bagi kita?"
Coba hubungkan dengan pesan para suci : "Perlakukan sesama makhluk sebagaimana dirimu ingin diperlakukan"
Hubungkan juga dengan panjang-pendeknya usus hewan pemakan tumbuhan atau herbivora. Usus hewan herbivora lebih panjang daripada carnivora. Dengan demikian, ketika kita konsumsi daging, tidak berbeda dengan kita menyimpan bangkai. Usus carnovora lebih pendek karena memang daging dengan cepat dicerna.Â
Dampak buruk dari konsumsi daging sangat jelas, kesehatan tubuh kita lebih rentan terhadap penyakit. Terbukti bahwa penyakit yang disebut kanker disebabkan juga karena kita konsumsi daging. Sela-sel kanker dengan mudah berkembang katika kita konsumsi daging. Menurut pikiran atau pendapat saya, ini merupakan balasan dari hewan yang kita korbankan demi kenyamanan lidah.Â
Sungguh menarik mengulik keadaan ini. Seakan 'roh' si hewan mengundang atau membangkitkan sel-sel radikal dalam diri manusia. Sel-sel radikal ini memang dibutuhkan ketika tubuh manusia diserang oleh virus asing, namun sel-sel ini juga penggemar mengkonsumsi daging. Jadi, ketika kita konsumsi daging, cepat atau lambat kita menumbuhkembangkan sel radikal denga lebih cepat. Akibatnya, ketahanan tubuh kita menjadi rendah atau lebih rentan terserang inflamasi, nah saking banyaknya inflamasi, akhirnya dimasukkan dalam keranjang penyakit kanker.Â
Terbukti emosi atau sifat reaktif penggemar konsumsi daging juga lebih tinggi. Tidak mengherankan juga, karena memang hewan memiliki sifat reaktif, sedangkan semestinya manusia yang bisa mengembangkan neocortexnya memiliki watak responsif yang menggunakan pertimbangan sebelum bertindak.Â
Singkat kata, bila kita ingin menjadi manusia sesungguhnya, kita menjauhi segala sesuatu yang bisa membangkitkan kehewanian dalam diri kita. Dengan menyadari sifat bawaan buas yang berasal dari otak mamalia, kita melakukannya transformasi dari intelektual menjadi intelegensia atau buddhi.Â