Untuk memutuskan secara bijak sebaiknya tidak menggunakan timbangan indra. Seringkali kita memutuskan sesuatu berdasarkan perasaan suka dan tidak suka. Yang pada umumnya dipastikan berakibat pada keputusan yang tidak tepat. Tepat berarti mulia atau keputusan bijak. Dengan kata lain tepat berarti mulia. Tepat juga berarti berdasarkan kepentingan orang banyak. Sebagai catatan bahwa bila masih bekerja di kantor, maka dengan sendirinya sulit membuat keputusan yang bijak.
Keputusan yang bijak hanya bisa dilakukan bila kita sendiri bisa meraih kebebasan dalam bertindak serta berpikir. Saya sangat memahami bila cara pikir ini tidak tepat di dunia kerja, karena selama kita masih bekerja tentu segala keputusan berdasarkan sistem atau kebijakan kantor. Mungkinkah kita bebas?
Setiap orang bisa bebas dari kondisi yang diciptakan oleh lingkungan. Sesungguhnya kondisioning lingkungan tidak tepat bagi perkembangan kesadaran kita. Kesadaran yang saya maksudkan berkaitan dengan tanggung jawab pribadi selaras dengan potensi diri menuju manusia seutuhnya. Yang berarti hidup selaras dengan nilai kemanusiaan. Sangat mungkin hal seperti ini dianggap menyimpang dari norma masyarakat umum.
Norma masyarakat umum dibuat berdasarkan kebiasaan yang berlaku dalam jangka waktu lama. Sehingga seringkali hal yang tidak baik dianggap biasa. Misalnya, seorang memiliki istri lebih dari satu. Atau menempatkan derajat seorang pria lebih tinggi dari wanita, bahkan sebagai pemimpin. Tanpa disadari kita melupakan bahwa sejarah membuktikan banyak kerajaan yang dahulu dipimpin seorang wanita ternyata lebih makmur, silakan pelajari sejarah masa lalu Aceh.
Kembali tentang timbangan indra. Saat kita memutuskan sesuatu berdasarkan rasa suka atau tidak suka, kita menggunakan timbangan indra yang berdasarkan atas rekaman pikiran masa lalu. Segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita secara tidak langsung terekam dalam memori. Demikian kita dihadapkan untuk mengambil suatu keputusan, maka kita akan menggunakan referensi yang sudah tertanam atau terekam. Padahal lingkungan atau masyarakat sekitar sebenarnya juga tidak memahami nilai-nilai kemanusiaan. Jadi bisa dibayangkan keputusan yang diambil dapat dipastikan tidak tepat. Karena berdasarkan pada tafsir otak atau intelektual.
Suatu contoh, seseorang yang dicekoki pemahaman tertentu sejak kecil ketika dewasa akan menilai orang lain berdasarkan pemahaman yang ditanamkan oleh lingkungannya. Ketika ia Bertem dengan seseorang, maka rasa apriori terhadap kepercayaan lain langsung terjadi. Karena tidak sesuai dengan timbangan rekaman yang dimiliki hasil cekokkan atau jejalan sejak kecil. Dengan kata lain, kejernihan cara pandangnya telah tertutup oleh pandangan masyarakat. Inilah ilusi pikiran. Artinya ia hidup di bawah kenkali rekaman masa lalu. Mungkinkah kita lepas dari bayang-bayang ini?
Sangat sulit, namun demikian ada suatu keajaiban yang bisa terjadi. Bukan keajaiban jadi manusia hebat, tetapi keajaiban berupa kemampuan untuk memberdaya diri. Hal ini berarti berarti kita mampu lepas dari hijab atau ketertutupan ciptaan masyarakat yang belum sadar akan kesejatian dirinya. Bila ada yang bertanya : 'Kapan hal seperti ini terjadi?' Inilah misteri alam semesta.
Ketika hal tersebut terjadi, maka proses pencerahan ini akan berlangsung terus tanpa akhir sampai suatu ketika lupa menarik napas, alias tewas. Bila kita meninggal dalam proses ini, maka setelah roh meninggalkan tubuh, ia telah mengerti akan makna kematian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H