Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Esensi Semua Kepercayaan Satu Adanya

10 Agustus 2024   06:30 Diperbarui: 10 Agustus 2024   06:50 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : https://www.anandashram.or.id

Esensi berarti iei atau inti/sari pati satu dan sama : Kehadiran atau keberadaan setiap orang memberikan manfaat bagi lingkungan/sesamanya. Dalam pepatah Jawa dinamakan : URIP IKU URUP. Salah seorang suci dari daerah gurun mengatakan Rahmat Bagi sekalian alam.

Urip berarti hidup; Urup bermakna menghidupi. Jadi, kehidupan kita menjadi bermakna bila da bila bisa memberikan kehidupan bagi sesama makhluk. Demikian pula dengan Rahmat bagi sekalian alam. Keberadaan kita semestinya juga memberikan kabaikan bagi sesama, kemudian kehidupan yang mensejahterakan bagi semuanya terwujud.

Tidak disangkal bila dilihat dari tampilan luar atau pembungkus/kulitnya memang beda, tentu hal ini terjadi sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di daerah tersebut. Faktor cuaca juga berpengaruh terhadap cara berpakaian. Misalnya di daerah dengan kelembaban rendah tidaklah baik bila kulitnya terpapar dengan udara, karena akan berpengaruh terhadap cairan dalam tubuhnya sehingga menimbulkan masalah kesehatan.

Sementara itu, mereka yang tinggal di wilayah dengan tingkat kelembaban tinggi keterpaparan kulit telhadap udala luar tidak memiliki dampak buruk terhadap kesehatan. Inilah sebabnya cara berpakainnya juga berbeda. Berdasarkan cuaca setempat, maka cara berpakaian pun berbeda. Oleh karena itu, cara berpakaian di suatu tempat pastilah beda dengan tempat lainnya. Bukan kah dengan menyeragamkan cara berpakaian dengan cuaca yang beda merupakan sesuatu yang tidak selaras dengan alam?

Dengan kata lain segala ritus yang dituliskan dalam kitab ajaran yang ditinggalkan hanyalah kulit atau bagian luarnya. Oleh karena itu, ritus yang berlaku di tempat tersebut hanya berlaku secara lokal. Sayangnya bagi yang tidak memahami memboyong semua kebiasaan yang cocok secara lokal. Dengan cara menguaba pola berpaian tanpa disadari telah mengubah cara pandang.  Padahal yang semestinya yang disampaikan adalah esensinya, bukan ritus atau kebiasaan luarnya.

Sebagai akibat membawa ritus yang tidak tepat atau tidak pas dengan kebiasaan lokal berpotensi menimbulkan konflik. Adanya perbedaan pada bagian luar dibesar-besarkan sehingga lupa akan esensi ajarannya. Inilah yang membedakan cara pandang para suci dan orang awam. Para suci menyampaikan inti kehidupan, orang awam masih melihat dengan cara pandang bagian luar.

Kita orang awam tidak sadar bahwa ini berpotensi sebagai sumber konflik yang berbahaya terjadinya perpecahan. Bila para pengikutnya tidak memahami dengan baik esensi atau inti pesan dari para suci, maka kita semua terus menerus terjebak dalam konflik tanpa ada titik hentinya.

Tindakan kekerasan yang juga bermakna pemaksaan kehendak atau keinginan untuk menyeragamkan disebabkan karena hanya melihat atau keyakinan pada kulit tanpa memahami esensi. Kebanyakan dari kita semua terjebak dalam ranah ritus, dogma serta doktrin. Inilah sebabnya ajaran para suci dilembagakan demi melestarikan kekuasaan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun