Sudah semestinya ortu yang memahami perannya mempersiapkan anaknya untuk menghadapi tantangan hidup di era digital ini. Karena era digital ini tidaklah mudah untuk dihadapi, tantangan semakin berat. Solusi hanya dengan memberikan pendidikan berbasis intelektual tidak akan cukup kuat untuk menghadapi berita hoaks yang bertebaran di media sosial.Â
Di media sosial (sosmed) banyak sekali bertebaran informasi yang tampaknya baik atau menggiurkan tetapi sesungguhnya sama sekali tidak membantu perkembangan evolusi kesadaran kita. Bila yang kita sukai semata hanya untuk membuat emosi kita lebih baik berarti kita belum memahami apa beda antara intelektual dan intelegensi (buddhi). Intelektual semata berbasis pengetahuan pinjaman yang kebanyakan tidak membuat kita menjadi manusia seutuhnya. Intelektualitas hanyalah membuat kita sema kin menjauh dari Sang Maha Sumber Agung.
Boleh saja membantah, 'Apa salahnya bila kita menjauh dari Sang Maha Sumber Agung', sama sekali tidaklah salah. Bukankah setiap orang memiliki pilihan, mendekati Sang Maha Sumber Kebahagiaan atau menjauhi yang berarti kita senang atau mendekati penderitaan. Kebenaran memiliki banyak sisi pilihan, ada sisi gelap ada sisi terang.
Intelegensi (buddhi) berarti kita telah mengasah atau melakukannya transformasi pikiran (mind) atau intelektual menjadi intelegensi/buddhi. Dengan mengembangkan buddhi kita menggunakan neocortex atau perangkat keras baru sebagai manusia.
Kembali tentang persiapan bagi anak...........
Sebagaimana diwariskan oleh leluhur kita bagaimana kita mempersiapkan anak menghadapi tantang hidup. Bisa dimulai sejak dini, mulai akan membuat anak. Niatnya apa, semata hanya melepaskan nafsu syahwat saja, atau memang dibarengi niat mulia. Saya percha dengar di lingkungan keraton atau para raja Nusantara, niat mereka untuk berkumpul dengan istri demi untuk mengundang roh yang baik, sehingga mereka melakukannya dengan penuh kesadaran, yaitu dibarengi laku puasa atau ritual tertentu. Dengan demikian roh yang masuk roh baik, bukan sembarangan.
Saat melahirkan juga mesti secara alami. Pada era modern ini, banyak cara melahirkan, misalnya cesar atau melalui air atau mungkin ada lagi. Tujuannya adalah agar si ibu tidak merasakan sakit, tampaknya menyenangkan, tetapi sadarkah kita bahwa cara yang nyaman bagi ibu sesungguhnya tidak membuat si anak memiliki daya juang tinggi. Pada umumnya anak yang lahir tanpa susah membuat daya juangnya menurun.
Saya pernah membaca tentang membantu kelahiran atau terbentuknya kupu-kupu. Dikisahkan seorang pendeta yang dikenal welas asih memberikan bantuan pada kepompong dengan cara membedahnya, maksudnya agar calon kupu-kupu tidak kesulitan ke luar. Namun tanpa disadari oleh orang tersebut bahwa dengan cara ini membuat si salon kupu-kupu tidak berhasil membentuk sayapnya. Akhirnya si calon kupu-kupu malahan mati. Â
Saat si calon kupu-kupu berjuang memecahkan kepompong, ia berjuang keras. Saat itulah terbentuk sayap, sehingga ia bisa terbang. Adanya bantuan telah menghilangkan proses terjadinya sayap. Demikian juga saat bayi akan lahir dengan proses alami, sang ibu berjuang keras dengan menahan segala rasa sakit.Â
Ia mempertaruhkan nyawa demi melahirkan anak. Dengan situasi yang amat sakit, rasa kasih ibu terhadap anak juga sangat besar. Demikian juga si anak, dengan cara lahir alami, ia membuat dirinya memiliki daya juang tinggi. Dalam dirinya tertanam bahwa untuk menggapai sesuatu mesti berjuang bagaikan keinginannya untuk kelura dari rahim ibunya.
Kemudian pada saat tumbuh berkembang pun, seorang ibu mesti mendildik dengan disiplin. Misalnya, janganlah memberikan sesuatu dengan mudah. Guru saya, Bapak Anand Krishna pernah mengatakan, jangan berikan barang yang diinginkan anak saat ia meminta. Berikan di lain waktu ketika anaknya telah lupa. Pastilah anak tersebut menangis, biarkan sesaat menangis agar ia sadar bahwa tangisannya menjadi senjata untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan.