Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Capailah Ketinggian Sehingga Tiada Lagi Perbedaan

26 Juli 2024   06:30 Diperbarui: 26 Juli 2024   06:36 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : https://student-activity.binus.ac.id/

Fanatisme ada pada semua agama. Saya ingat ketika Mahatma Gandhi ditembak sehingga meninggal dunia. Ternyata yang melakukan pembunuhan juga pengikut yang atau agama. Ia merasa bahwa yang dilakukan Mahatma Gandhi tidak sesuai dengan prinsip yang diajarkan agama sebagaimana yang disampaikan oleh pendeta yang dipercayainya baik.

Tampaknya, semakin kita medalami suatu kepercayaan, kita anggap keyakinan kita terbami sehingga menganggap bahwa keyakinan orang lain lebih buruk daripada keyakinan kita. Tidak mengherankan bila banyak orang terbingungkan dengan semakin maraknya fanatisme yang akhirnya memicu tindakan yang anarkis. Sesungguhnya mereka yang melakukan tindakan radikal adalah teman-teman atau bahkan saudara yang membutuhkan bantuan dalam menjalani kehidupan ini. 

Ketidaksadaran seseorang karena merasa paling benar justru telah menjerumuskan dirinya ke lembah kenistaan. Ia secara tidak sadar telah menodai agama yang disebarkan oleh nabi atau para suci yang membawa pesan pertamanya atau dari sejak awal. Semua pesan para suci dan nabi tidak berbeda : "Kabar gembira atau suka cita demi berkembangnya rahmat bagi semesta."

Sesungguhnyalah para suci dan nabi dengan suka cita menyampaikan ajaran yang bermakna untuk kedamaian. Sayangnya hanya beberapa orang saja yang bisa menerimanya. Pada awal penyampaiannya tiada satupun berita baik dari beliau terstruktur seperti saat ini. Karena damat dipastikan bahwa ajaran beliau sangat kontekstual saat itu. Dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat tempat para suci berada/lahir. Segala sesuatu yang disampaikan oleh beliau dimaksudkan khusus bagi masyarakat yang ada saat itu. Tidak disangkal bahwa kabar baik yang bersifat universal ini terdapat dalam ajaran beliau. Dan ini juga terdapat dalam ajaran yang dibawakan oleh nabi atau utusan sebelumnya.


Pesan universal satu dan sama:


SAYANGI DAN CINTAI SELURUH UMAT MANUSIA SERTA SEMUA MAKHLUK CIPTAAN NYA........

Kabar gembira ini sangat bermanfaat bagi alam semesta, karena dengan melakoni pesan ini tak disangkal lagi akan terciptalah kedamaian di atas bumi. Hidup saling melindungi dan menyayangi. Tiada yang mengklaim paling baik dan benar. Semua umat sama di hadapan Dia Yang Maha Adil. Semua ada di satu bumi ciptaan Nya. Coba saja kita perhatian sewaktu kita di ketinggian pesawat udara. Bukan kah dari sana kita melihat bumi begitu indah. Tiada seorangpun mampu membedakan bentuk satu dengan yang lain. Demikian juga manusia yang sudah memiliki ketinggian pandangan keilahian, tiada bakal melihat perbedaan.

Bagi mereka yang belum bisa melihat dari sisi pandang ketinggian ilahiah seperti ini, segala yang terluhata dalah perbedaan. Di atas segalanya, itulah proses. Tiada seorang sarjana tanpa melewati TK, SD dsl. Namun bukan berarti kita mencari pembenaran untuk tetap  bersifat radikal. Setiap insan terus berproses. Demikian juga dengan Baginda Rasul, untuk mencapai kerasulannya beliau melalui proses. Demikian pula semua nabi mengalaminya. So, ketinggian sudut pandang sebagaimana disampaikan para suci terbuka untuk dicapai setiap insan. Penyebab utamanya adalah kebodohan dan kemalasan kita untuk tetap menutup diri terhadap kemajuan evolusi jiwa. Inilah yang dinamakan comfort zone. Yang bisa dikatakan pula sebagai zona kemalasan.

Ilustrasi yang pas bisa sebagai berikut:
Kita rebus air satu panci, saat air tersebut mendidih, masukkan seekor katak. Jelas sang katak kaget dan reaksinya, lompat keluar. Mari kita Ubah sedikit dengan cara memasukkan katak yang sama ke alam panci terisi air dingin. Kemudian rebus air tersebut di atas kompor. Dijamin, si katak tidak akan bereaksi. Ia menikmati kehangatan demi kehangatan air. Tahu-tahu ia mati dalam kenyamanan atau comfort zona air rebusan. Ia tidak bakal memberontak. Ia mati dalam kenyamanan air yang di awalnya hangat, comfort zone.
Kita yang terbiasa hidup dengan bergantung pada orang lain juga tinggal di daerah yang nyaman. Mereka yang tidak mau berupaya untuk meningkatkan kualitas jiwa dengan berupaya keluar dari zona nyaman sama juga dengan kodok dalam rebusan air. Mati. Jiwanya yang mati ditindas oleh kenyamanan badan. Sungguh tragis serta menyedihkan.

Betapa sedihnya para suci melihat ajaran yang bersifat damai dan mendamaikan diubah menjadi berita yang menakutkan karena ketidak mengertian dalam menerapkan ajaran yang penuh kasih dan sayang. Kitab terpaku pada kulit luar : Ritual Cara beribadah dan larangan ini dan itu yang sangat tidak kontekstual pada jaman atau masanya.

https://student-activity.binus.ac.id/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun