Menarik sekali keberanian Tajikistan mengeluarkan undang-undang pelarangan penggunaan pakaian non lokal, silakan baca ini, termasuk pakaian bagi hijab. Padahal mayoritas penduduknya beragama Islam (96%). Kemudian juga Kazakstan melarang penggunaan jilbab di sekolah (Sumber ini). Tujuannya untuk menjaga sekularisme. Sungguh kebijaksanaan yang berani dan mulia.
Menarik sekali pernyataan ini :Â
"Persyaratan seragam sekolah melarang pemakaian jilbab karena atribut, simbol, elemen apa pun menyiratkan propaganda dogma yang terkait. Menjamin kesetaraan semua agama di depan hukum, prinsip-prinsip sekularisme tidak mengizinkan keuntungan dari agama apa pun," demikian bunyi pernyataan di bagian "Untuk warga negara" di situs web pemerintah Kazakstan, tertanggal 16 Oktober 2023.
Para ulama kedua negara di atas sangat sadar bahwa pakaian nasional merupakan simbol budaya bangsa. Dengan kata lain, Tajikstan dan Kazakstan jauh lebih menghargai busana yang berasal dari negara sendiri. Boleh saja mereka menganut kepercayaan dari negara lain, tetapi mereka sangat memahami bahwa busana tidak harus dari luar juga. Karena busana nasional pastilah sudah disesuaikan dengan cuaca dan kebiasaan tradisional yang merupakan warisan dari leluhur. Â
Suatu bangsa bisa hancur atau punah bila akar budayanya dicerabut. Walaupun yang saya pahami bahwa budaya bukanlah pakaian adat atau lokal/nasional, tetapi cara atau model berpakaian damat dipastikan telah mengalami kajian mendalam dari leluhur nusantara. Kita bukanlah bangsa yang tidak berbudaya dalam arti tidak beradab. Mari kita ingat sejarah Sriwijaya. Negara ini satu-satunya yang bisa bertahan sangat lama; kurang lebih 8 abad. Setelah itu Majapahit yang ke dua paling lama.Â
Saya ingat ketika masa kecil, pakaian sekolah tidak melambangkan atribut agama tertentu. Saat mata pelajaran agama dengan cara pemisahan tanpa disadari telah memperbesar jurang sekularisme.Â
Kebiasaan membedakan dari busana terbukti telah menanamkan perasaan merasa lebih hebat dari kepercayaan lain. Apalagi bahwa pesertanya mayoritas. Hal mayoritas dan minoritas dengan busana beda sangat berpotensi menjadikan kelompok tersebut lebih superior dari peserta anak didik yang lebih sedikit.
Sebagai bangsa yang berlandaskan Panca Sila dalam pendidikan, negara kita juga sangat mungkin untuk mengikuti kebijaksanaan negara yang mayoritas muslim, 96 %. Jelas para pengambil kebijakan pasti dari golongan mayoritas, tetapi pola pikir mereka tidak dikuasai "KEMAYORITASAN", mereka lebih mengutamakan rasa nasionalisme dalam memutuskan penggunaan busana sebagai simbol bangsa merdeka.Â
Kita tidak sadar bahwa dengan mengikuti cara berpakaian yang bukan busana lokal negaranya, kita sudah dijajah. Silakan memiliki kepercayaan dari non lokal, tetapi tetap berprinsip bahwa busana yang paling sesuai bagi warga lokal adalah yang berasal dari lokal.
Banyak sudah berita di negara ini yang memaksakan penggunaan atribut non lokal terhadap peserta anak didiknya. Bukankah cara ini merupakan pelecehan terhadap tradisi sendiri? Saya ingat dulu ketika ada orang pribumi menjadi antek penjajah, mereka lebih Londo dari orang Belanda. Tidak beda dengan dalam berbusana non lokal saat ini. Bukankah kita sendiri yang mencerabut busana asli kita?Â
Secara perlahan kita sedang didorong untuk membunuh warisan leluhur kita. Mau ke manakah kita, bila kita abai terhadap milik atau Warisan kita sendiri?