Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Lembaga Kepercayaan VS Pot Tanaman

12 Juni 2024   06:30 Diperbarui: 12 Juni 2024   06:57 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tampaknya berbeda secara fisik, tetapi bila dikaji dari fungsi; keduanya tidak berbeda sebagai wadah. Saya sangat percaya bahwa akan banyak yang tidak setuju. Tetapi marilah kita berpikir dengan netral. Itupun bila bisa menerima, bila tidak? Ya dipersilahkan melewatkan tulisan ini. Bukankah setiap orang memiliki kebebasan berpendapat. Mengapa?

Karena bila memaksakan kehendak atau sisi kebenaran yang saya miliki, dapat dipastikan perbuatan kekerasan. Saya ingat yang pernah disampaikan oleh Jesus. Janganlah memberikan mutiara ke mulut, seekor babi tidak memahami keindahan mutiara. Sangat relevan. Yang memahami keindahan mutiara adalah seorang yang bisa memahami adanya kemuliaan dari mutiara bila dikenakan, sedangkan babi hanya memahami yang mengenyangkan perut; makanan. Dengan memberikan mutiara kepada babi, ia akan menelan. Ia akan tersedak kemudian reaktif. Karena memang yang dimiliki babi adalah emosi, reaktif. Ia akan menghajar kita. Inilah tindakan kekerasan yang bisa menyakiti si babi.

Fungsi dari pot adalah sebagai tempat bagi tumbuhan. Kepercayaan juga bagaikan tumbuhan bagaikan pikiran kita yang terus mengalami perkembangan. Adalah hukum alam yang normal bahwa semestinya pikiran bisa berkembang. Dengan kata lain, pikiran secara alami mengalami transformasi dari hanya memikirkan tentang materi ke arah sesuatu yang lebih mulia. Dari materi/intelektual yang hanya memikirkan kenyamanan indrawi  menuju ke arah yang lebih tinggi, apakah tujuan kelahiran kita?

Bila kita mati kemudian lahir lagi masih urusi materi, berarti belum ada perkembangan pola pikir. Tidak mungkin terjadi.  Karena evolusi pola pikir mesti terjadi secara alami. Ketika kita mati, di ujung kematian semua peristiwa kehidupan kita di masa lalu. Inilah keadilan alam. Inilah tempat penghakiman. Bukan penghakiman dari Tuhan, tetapi mekanisme alam yang sangat canggih. Tiada kelahiran tanpa tujuan, nah ketika tujuan tidak tercapai atau bahkan menyimpang jauh pada saat hidup, alam semesta masih memberikan kesempatan untuk memperbaiki. Ibarat saat ujian sekolah, seorang guru akan melihat hasil ujian kita, dan ketika salah, sang guru memberikan kesempatan untuk memperbaiki. Demikian juga alam semesta.

Jadi setiap kehidupan merupakan suatu file kehidupan. Semakin banyak file, kita semakin memahami atau banyak referensi dalam memori kita. 

Kembali ke topik utama. Bila kita menganggap bahwa agama/kepercayaan sebagai tujuan, maka kita akan melewatkan perkembangan pikiran sebagaimana tanaman yang dibonsai; tidak berkembang. Bukan agamanya yang salah, tetapi mereka yang melembagakan agama. Realitanya, yang diberikan atau diajarkan membuat mereka yang di dalam lembaga tersebut tumbuhnya tidak normal, bagaikan tanaman dalam pot. Ke duanya tidak bisa berkembang dengan baik. Bahakn tidak bisa berkembang secara alami. Oleh karena itu, mereka yang tidak bisa beranjak dari agama, tidak bisa melampaui kelembagaan agama tidak akan berkembang pemahamannya. Lembaga ini bagaikan pot, wadah yang membonsai perkembangan pikiran kita. Dengan kata lain,  pikiran kita di bonsai jika masih terus di ranah alam ini. Walaupun tampak indah dilihat dari sisi pandang duniawi, tetapi tidak bisa besar dan bermanfaat bagi manusia bagaikan tumbuhan yang hidup di alam bebas.

Mari kita perhatikan tanaman dalam pot. Ia boleh saja tumbuh subur, tetapi akan tetap terpenjara dirinya. Pandangan ini terinspirasi oleh tanaman yang ada dalam pot. Ada dua tanaman yang sejenis. Ke duanya ditanam dalam pot yang sama. Satu tanaman kondisinya lebih subur dan besar. Setelah dilihat, ternyata akar tanaman bisa menembus pot yang terbuat dari tanah liat. Akar tersebut menembus sumbernya, tanah yang memiliki nutrisi yang tidak terbatas. Demikian juga, pola pikir kita mesti berkembang sampai luar kelembagaan yang merupakan penjara bagi pikiran. Pemenjaraan merupakan perbuatan kekerasan yang memaksa pikiran kerdil.

Fenomena yang lain terjadi pada burung atau hewan lainnya. Saat hewan berada dalam habitatnya, ia memiliki kemampuan self healing yang jauh lebih besar daripada yang di kurung. Ketika berada di habitatnya, ia bisa berhubungan dengan temannya. Kelompoknya memberikan energi suport yang luar biasa. Kebebasannya membuka hubungan dirinya denga semesta, inilah kekuatan sumber alam semesta.

Suka tidak suka, mau tidak mau; jika mau berkembang selaras dengan semesta, manusia mesti mampu membebaskan dirinya dari kurungan atau lembaga keagamaan. Lampauilah wadah yang membonsai perkembangan pikiran.

Para suci dan nabi juga tidak membantuk kelembagaan yang disampaikan. Masyarakat yang takut kemudian membentuk kelembagaan ini. Para suci dan nabi menyampaikan berita agar manusia bangkit untuk bertanggung jawab atas segala perbuatannya serta hidup dengan sesama dengan damai.

Para suci dan nabi yang memahami sifat semesta menyampaikan hal yang satu dan sama: Jangan lakukan perbuatan yang orang lain tidak suka perbuat terhadap dirimu. Atau: 'Jika tidak mau dicubit, janganlah mencubit'. Para suci dan nabi tidak sedikitpun akan setuju jika ajarannya dilembagakan sebagaimana lembaga keagamaan yang kita kenal saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun