Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Membuktikan Diri Penyembah Tuhan

8 Juni 2024   06:30 Diperbarui: 8 Juni 2024   07:04 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/

Ketika saya berkata bahwa saya penyembah Tuhan, tanpa disadari kita membuat batas perpisahan. Bagaimana tidak? 

Kata berasal dari pikiran, dengan kata bahwa saya sudah menyembah Tuhan, saya membuat jarak antara Tuhan dan diri. Mungkinkah kita terpisah? Sangat tidak mungkin. Apalagi bila kita berteriak bahwa Dia Maha Besar. Bila Dia Maha Besar, mungkinkah kita di luar Nya?

Apalagi kita berkata bahwa bisa membela Tuhan. Saat merasa bisa membela, saat itu terjadi keterpisahan. Ketika mengatakan keterpisahan, ia sudah mengingkari ayat atau pesan Suci yang tertuliskan daam satu kitab, : 'Tuhan lebih dekat dari urat lehermu'

Makna atau ungkapan tersebut berarti tidak ada keterpisahan antara Tuhan dan manusia. Karena bila terjadi keterpisahan, saat itu juga tiada kehidupan. Kehidupan berarti perkembangan. Boleh dikatakan pikiran gila...... 

Tiada yang melarang. Tetapi coba rasakan...

Kembali ke pokok masalah, lantas bagaimana membuktikan bahwa sebagai panembah Nya?

Mulai dri ucapan, ucapan serta perbuatan selaras dengan Dia. Karena ketika kita mengatakan saja tanpa berbuat, kita telah menunjukkan kesombongan karena menyatakan adanya keterpisahan. Mengapa? 

Karena merasa bisa hidup di luar Dia Hyang Maha Hidup. Sama sekali tidak masuk akal saya.

Seseorang sombong, berarti ia seorang yang tidak berani bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Bukan kah dalam kitab suci yang sama juga dikatakan bahwa setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri? Bahkan lebih detail dikatakan bahwa setiap anggota tubuhmu bertanggung jawab atas perbuatannya. Sayangnya pada saat ini, ayat ini sudah dilupakan, atau mungkin tidak lagi diyakini kebenarannya. Ini terbukti dari segala ucapan serta perbuatannya. Paling sederhana dengan mengatakan ucapan SELAMAT SAJA dianggap tidak benar, bagaimana lagi bisa berkata bahwa kepercayaan yang kuanut tidak lebih baik daripada yang kau anut.

Semakin orang merasa bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, ia akan semakin rendah hati. Ia semakin takut untuk melakukan perbuatan yang di kemudian hari akan berakibat pula pada dirinya. Ia sangat yakin adanya hukum sebab-akibat yang memelihara kehidupan. Ia tidak lagi bisa menipu dengan beralasan bahwa perbuatan buruknya akan bisa dibeli dengan perbuatan baik. Di sana merampok duit rakyat, di sini beramal pada anak yatim. Ia telah memperkosa hukum Tuhan.

Banyak orang yang menganggap Tuhan tukang pencuci dosa. Begitu kata pemimpin kepercayaannya. Ah...menyumbang sekian lah dari hasil rampokan duit rakyat. Ya, cukup sekian persen bisa mencuci dosanya. Maman Tuhan pencuci dosa? Enakkk sekali cara berpikir seperti inj. Ia lupa bahwa perbuatan baik dibalas baik. Perbuatan buruk dibalas buruk. Jika perbuatan buruk bisa dibeli perbuatan baik, ini bukan hukum timbal balik. Ini hukum dagang. Hukum manusia yang suka suap menyuap. Mengapa masih menggunakan hukum manusia yang penuh tipu daya ketika berusan dengan diri sendiri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun