Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kita Bisa Menjadi Negara Mandiri, Pertumbuhan Lebih Besar

14 Mei 2024   06:30 Diperbarui: 14 Mei 2024   07:11 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan kondisi kepulauan yang tersebar sebanyak kurang lebih 17 ribuan pulau, besar dan kecil, saya membayangkan bisa hidup tanpa harapkan investor asing. Mengapa?

Saya sangat percaya akan banyak yang tidak setuju bila tanpa bantuan asing , kita bisa mandiri. Dengan pulau besar yang memiliki kelebihan kesuburan seperti jawa da Sumatra, serta lain pulau besar yang juga tidak kalah subur, sesungguhnya kita bisa saling bersinergi. Saling barter antar pulau, karena setiap pulau memiliki keunikan hasil bumi. Rempah misalnya, dari dulu sudah diburu oleh pedagang negara Eropa, bahkan saya pernah mendengar cerita bahwa ketika negara Belanda yang lama bercokol di Nusantara bisa melunasi hutang dengan berjualan rempah dari negara kita.

Seberapa tinggi teknologi dari suatu bangsa, mereka tetap butuh makan sebagai kebutuhan dasar. Dari ketika saya kecil, pelajaran yang diberikan selalu menggaungkan bahwa kita adalat negara agraris, pertanian. Bangsa Belanda pun menyadari akan hal ini, sehingga mereka berupaya mengintensifkan kesuburan tanah kita.

Bila kita bisa intensifkan kesuburan tanah di pulau Jawa da Sumatra, kita bisa menjadi penghasil pangan terbesar. Saya ingat dulu ketika kita membuat pesawat terbang, akhirnya yang dilakukan kita barter dengan ketan. Artinya bahwa kita produksi pesawat, yang dibutuhkan adalah pangan. Mengapa kita gunakan uang untuk produksi pesawat terbang untuk mengembangkan potensi kita sebagai negara agraris?

Banyak lahan subur kita digunakan untuk industri, akhirnya produksi beras kita berkurang, bahkan defisit. Bukankah sebaiknya kita optimalkan lahan subur untuk tanam beras. Siapa tidak kenal Karawang lahan subur produsen beras. Sekarang!?

Bukankah lahan subur untuk pertanian merupakan potensi unggulan kita? Kita mengabaikan anugerah alam yang sebenarnya menjadi kekuatan negara kita untuk menjadi pemasok makanan yang sangat dibutuhkan oleh banyak orang.

Saya pernah dengar bahwa Bill Gates ( 'Bahkan Bill Gates diketahui menguasai sekitar 0,03% dari total lahan pertanian yang ada di Amerika Serikat (AS)') , Sumber : https://internasional.kontan.co.id/news. Berdasarkan Laporan Departemen Pertanian AS tahun 2022 dan Layanan Statistik Pertanian Nasional, ada total 895.300.000 hektar lahan pertanian di AS.dan Mark Zuckerberg memilih membeli lahan pertanian terbesar di beberapa negara bagian Amerika.

Sederet orang -orang terkaya termasuk Mark Zuckerberg, Jeff Bezos, sampai Oprah Winfrey berbondong-bondong memburu lahan di Hawaii dalam beberapa tahun belakangan. Hal itu membuat mereka kini dituduh 'menjajah' pulau tersebut dan 'mencuri' tanah dari penduduk asli Hawaii.

Silakan baca  ini: Artikel ini : Daftar Orang Terkaya yang Beli Lahan di Hawaii, dari Mark Zuckerberg, Jeff Bezos sampai Oprah Winfrey", bisa dibayangkan betapa 'TOLOL' nya kita bisa dibodohi oleh mereka yang mau bangun industri di lahan subur di pulau yang jelas sangat berharga karena potensi kesuburan kita.

Dengan perkembangan penduduk yang kecepatannya deret ukur, jelas yang paling dibutuhkan adalah bagaimana bisa tetap hidup, tentu pangan. Bukanlah kita sudah memiliki yang diburu para orang kaya? Mengapa kita abaikan? Mengapa kita mesti kembangkan industri atau teknologi? Bukan kah kita bisa belajar dari penjualan pesawat yang pernah kita lakukan?

Kita bisa belajar dari kejatuhan Venezuela. Venezuela penghasil minyak terbesar beberapa tahun lalu, sekarang menjadi negara miskin. Karena saat harta minyak tinggi, mereka tidak mengembangkan industri lainnya. Mereka murni mengandalkan hasil penjualan minyak untuk beli makanan yang impor dari luar. Semestinya, negara seperti ini mengembangkan sumberdaya manusia atau potensi negara yang mereka miliki saat uang berlimpah dari penjualan minyak. Tidak kah kita belajar dari negara seperti ini?

Banyak potansi yang kita miliki sehingga dengan mengembangkan potensi kepulauan kita, sangat mungkin kita bisa tumbuh > dari 5-6% seperti sekarang ini.

Potensi lautan kita yang bisa dikatakan paling luas di dunia memiliki potensi yang sangat memungkinkan untuk menjadi eksportir ikan di dunia. Untuk membudidayakan ikan, bahkan tidak butuh memberi makan, yang adat kita butuhkan adalah mengatur atau managemen pengambilan ikan. Dengan tenggang waktu tertentu, ikan-ikan akan menjadi besar dengan sendirinya. Berikan ikan atau sumberdaya laut untuk berkembang. Lindungi atau cegah segala hal yang menggangs pertumbuhan ikan, misalnya melarang pengambilan ikan pada saat ikan masih produktif untuk bertelur, sehingga tidak mengganggu perkembangbiakan ikan.

Potensi pariwisata kita juga melimpah, saya percaya bila kita tetap menjaga keaslian wisata, jangan ditambahi dengan hal yang mengurangi keunikan dari wilayah wisata, tentu bisa menjadi unggulan wisata yang tidak terdapat di negara lain. Bali misalnya, mengapa mesti membuat mall atau lapangan golf sehingga mengorbankan keunikan wisata kita. Bukan kah para turis asing datang untuk melihat hal yang tidak ada di negara mereka? Bukan mall atau lapangan golf..... 

Saya hanya bisa berdoa dan berharap, ada pemimpin yang memiliki VISI yang bisa menata managemen potensi negara kita denga baik. Dengan kata lain, sesungguhnya kita negara yang salah menagemen dalam, bahkan sakin membingungkannnya bisa memberikan peluang bagi importer garam. Bukan negara kita memiliki juga potensi jadi eksportir garam?    

http://gagasan.mercubuana-yogya.ac.id/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun