Bisa menghafal isi suatu buku pun tidak akan membuat si penghafal memiliki sifat atau perilaku sebagaimana yang dituliskan seperti isi buku yang dihafalkan. Tidak beda dengan robot yang hanya bisa mengucapkan tetapi tidak bisa menerapkan dalam kehidupan keseharian.
Mungkin ada yang membantah, beda buku beda bila yang dihafalkan suatu buku yang dituliskan atau diwariskan oleh seorang suci atau utusan. Ya, sami mawon. Suatu kitab bisa dikatakan baik, bila isinya bisa membuat orang yang membacanya paham isinya kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Atau dengan kata lain, bisa diterapkan sebagaimana isi buku tersebut. Bila isinya baik atau nasihat supaya orang menjadi baik, ya semestinya tidak hanya menghapal saja.
Itulah yang membuat saya bingung bila hanya dengan bisa menghafal suatu isi buku kemudian bisa menjadi pejabat atau diterima sebagai mahasiswa pada suatu perguruan tinggi. Mau jadi apa pejabat tersebut? Bagaikan keledai yang hanya bisa menggendong buku tetapi tidak mengerti apa yang digendong atau dimuatkan pada si keledai.Â
Dengan menghafal saja sesungguhnya tidak berbeda dengan ketika mengajari menyanyi seekor burung. Yang digunakan masih pada otak mamalia karena otak mamalia adalah bagian yang bekerja ketika seseorang bisa menghafal. Seperti anjing yang diberi makanan pada jam tertentu setiap hari. Kebiasaan ini seperti hapalan, mengapa? Karena anjing belum memiliki neocortex seperti manusia, maka yang aktif adalah otak mamalianya.
Demikian juga manusia yang banyak hapalan, maka yang semakin berkembang adalah otak mamalianya. Kita sering menganggap bahwa anjing pintar untuk menerima dan melakukannya sesuatu yang kita ajarkan. Tampaknya kepintaran kita juga demkian, masih menggunakan bagian otak mamalia. Karena seringkali orang yang pintar juga memiliki sifat licik. Hal ini terlihat ketika ia pintar berdebat tentang isi hafalannya.Â
Kebanyakan orang yang pintar menghafal membenarkan perbuatannya dengan menggunakan dalih-dalih untuk mendukung perbuatannya yang belum tentu tepat atau semata hanya untuk keuntungannya sendiri. Ia sangat bangga akan dirinya yang sesungguhnya palsu.
beban pada pikiran. Padahal, pada saat kematian tiba, beban ini bisa menjadi penghalang perjalanan untuk kembali kepada yang Maha Agung. Pengetahuan banyak bisa membuat kita semakin besar egonya, dari sisi kebutuhan perjalanan Jiwa, ini sangat memberatkan. Dengan kata lain, kehidupan di dunia yang semestinya menjadi tempat pembersihan sampah masa lalu, dengan bertambahnya beban pengetahuan duniawi akan bertambah semakin memenuhi pikiran. Wah semakin jauh dari tujuan utama kelahiran di bumi. Mengapa?
Semakin banyak yang kita hapal, tanpa pemahaman, semakin menjadiTernyata terbukti bahwa kepintaran yang tinggi bisa membuat kita tidak bahagia. Semakin pintar, semakin licik kita membodohi orang lain demi keuntungan pribadi. Kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang seberapa pun banyaknya. Yang terjadi adalah sebaliknya, kita semakin merasa khawatir dan semakin merasa miskin. Bukan kah ini penderitaan?
Banyak orang pintar yang berhasil mengumpulkan gelar, tetapi mereka semakin haus pujian. Mereka semakin terjebak dalam dunia maya. Saya sangat meyakini bahwa sesunguhnya mereka tidak bahagia, mungkin mereka merasa senang dipuji, tetapi bukan rasa kebahagiaan. Terpenuhinya keinginan sesaat hanya membuat seseorang merasa senag aau lega, tetapi sesaat lagi akan hilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H