Sedangkan 4 lainnya warga biasa yang tidak memiliki keahlian khusus. Diangkat hanya sebagai kehorma tan bukan karena keahliannya. Mungkin tetua adat.
Tiba saatnya pemeriksaan. Setelah diperiksa dengan teliti, Si ahli sangat mengetahui bahwa orang tersebut belum meninggal dunia secara total. Mungkin bisa dikatakan dalam keadaan koma.
Giliran 4 orang lainnya yang karena tidak memiliki keahlian dalam bidang tersebut, dengan mudah dan cepat mengatakan bahwa orang tersebut sdudah meninggal. Karena memang keputusan untuk menentukan harus pada suara terbanyak, akhirnya orang tersebut dikuburkan.
Pola ini yang kita anut dalam demokrasi saat ini; suara pada jumlah terbanyak. Inilah kenyataan. Karena memang mayoritas rakyat kita belum memiliki kecerdasan atau kebijaksanaan yang mampu berpikir kritis. Sedangkan kemampuan critical thinking hanya ada di otak baru atau neocortex.
Mari kita kaji Sila ke 4 :
                      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan
Yang memimpin haruslah memiliki kebijaksanaan atau orang yang bisa secara utuh menggunakan Neocortex, bagian otak yang memiliki kemampuan untuk menimbang secara arif. Kemudian dimusyawarahkan atau dirapatkan berdasarkan keahlian atau atas landasan kebijaksanaan bukan suara banyak tetapi masih menggunakan otak hewan: mamalia dan reptil.
Bukan rahasia lagi bahwa banyak yang dikejar wakil rakyat semata ada duit. Ya mungkin ada yang idealis; demi kepentingan rachat, walaupun sedikit. Sehingga saya juga bingung harus mulai dari mana agar dapat menghasilkan pemimpin yang baik.
Seorang pemimpin yang baik mesti diproduksi dari masayarakat yang pintar. Dengan kata lain semestinya kita memiliki pendidikan yang mengedepankan karakter atau pendidikan berbasis kemanusiaan alias otak manusia bukan otak hewan alias mamalian and reptilian brain.
Saya ingat salah satu bait dalam lagu Indonesia Raya: