Penulis :
Imla Milati Amrini1, Rizal Ainurrozaq2
Universitas Brawijaya
Pertumbuhan bayi merupakan salah satu fase krusial, namun seringkali tanpa pengetahuan yang memadai, banyak orang tua menganggap setiap perkembangan sebagai hal yang patut dibanggakan. Misalnya saja pertumbuhan bayi secara cepat, perkembangan bayi yang cepat bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk genetika, nutrisi yang baik, serta stimulasi yang memadai dari lingkungan sekitarnya. Setiap bayi memiliki kecepatan perkembangan yang berbeda-beda, dan beberapa bayi mungkin menunjukkan tanda-tanda perkembangan yang lebih cepat dibandingkan yang lain. Namun, penting bagi orang tua untuk memahami bahwa perkembangan yang terlalu cepat juga bisa membawa risiko, seperti melewatkan fase penting yang diperlukan untuk perkembangan fisik dan motorik yang sehat.
Salah satu contohnya adalah bayi yang melewatkan fase merangkak. Bayi biasanya melewatkan fase merangkak karena beberapa faktor, seperti lingkungan, genetika dan temperamen dapat membuat beberapa bayi cenderung ingin berdiri dan berjalan lebih cepat daripada merangkak, dan kurangnya stimulasi. Semua faktor ini dapat menyebabkan bayi melewatkan fase merangkak dan langsung belajar berjalan. Banyak orang tua yang merasa bangga ketika bayi mereka langsung belajar berjalan tanpa melalui fase merangkak, padahal fase ini sangat penting untuk perkembangan tulang belakang yang sehat. Melewatkan fase merangkak dapat meningkatkan risiko skoliosis, yakni kelainan pada kelengkungan tulang belakang.
Berdasarkan data (Elisanti, 2017), sekitar 4% bayi di berbagai negara gagal mencapai perkembangan motoriknya tepat waktu, namun hanya sekitar 15-20% dari bayi tersebut yang menunjukkan perkembangan abnormal; Lebih lambat. Menurut (Saurina, 2016), menyatakan 0,4 juta (16%) bayi di Indonesia menderita kelainan perkembangan, baik perkembangan motorik kasar maupun halus, gangguan pendengaran, penurunan kecerdasan, dan keterlambatan berbahasa. Perkembangan motorik kasar seperti tahap merangkak pada usia 6 sampai 10 bulan merupakan tahap terpenting dalam tumbuh kembang bayi dan pilar terpenting dalam melatih keterampilan motorik dan keseimbangan otak kanan dan kiri (Nafisa, 2021). Merangkak pada bayi adalah cara untuk menemukan dan mempelajari fungsi motorik, kognitif, sosial, dan emosional (Chico-Morales et al., 2022) dan mendorong perkembangan sistem sensorimotor sebagai alat penggerak pertama (Yamamoto et al., 2023).
Kurangnya pengetahuan orang Indonesia tentang tahapan perkembangan motorik bayi menjadi akar penyebab kasus penyakit skoliosis pada bayi. Selain itu, kebiasaan menggendong bayi dalam posisi yang tidak ergonomis atau menggunakan alat bantu yang tidak mendukung postur tubuh bayi juga dapat berkontribusi terhadap masalah ini. Contohnya saja seperti, penggunaan baby walker yang tidak tepat dan terlalu sering dapat mengganggu perkembangan alami kaki dan tulang belakang bayi. Kurangnya pengetahuan akan pentingnya stimulasi motorik yang benar dan pengetahuan tentang postur tubuh yang baik sejak dini sering kali menyebabkan kebiasaan-kebiasaan ini tetap berlangsung, sehingga meningkatkan risiko skoliosis pada anak-anak.
Fase merangkak berlangsung setelah bayi melewati fase tengkurap. Fase merangkak biasanya dimulai ketika bayi berusia sekitar 6 hingga 10 bulan. Pada tahap ini, bayi belajar untuk menyeimbangkan tubuhnya di atas tangan dan lutut, yang membantu menguatkan otot-otot inti, lengan, dan kaki. Fase merangkak merangsang perkembangan koordinasi antara tangan dan mata serta kemampuan kognitif. Melalui merangkak, bayi belajar tentang berat dan tekstur benda, serta mulai memahami hubungan ruang dan jarak. Semua aspek ini berkontribusi pada perkembangan motorik yang lebih baik dan postur tubuh yang sehat. Sehingga, melewati fase ini dapat mengakibatkan kurangnya kekuatan otot inti dan ketidakseimbangan tubuh, yang dapat meningkatkan risiko terjadinya skoliosis.
Skoliosis adalah kondisi medis yang ditandai dengan adanya kelengkungan abnormal pada tulang belakang. Biasanya, tulang belakang memiliki sedikit kelengkungan alami, namun pada skoliosis, lengkungan tersebut berbentuk seperti huruf "C" atau "S" yang tidak normal ketika dilihat dari belakang. Skoliosis dapat terjadi pada berbagai bagian tulang belakang, termasuk bagian atas (toraks), bagian bawah (lumbal), atau kombinasi keduanya. Pada bayi, skoliosis dikenal sebagai skoliosis infantil. Skoliosis infantil adalah jenis skoliosis yang terjadi pada anak-anak di bawah usia 3 tahun. Skoliosis pada bayi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kelainan bawaan (congenital), gangguan saraf otot (neuromuskular), atau kelainan tulang (idiopatik). Salah satu tanda awal skoliosis pada bayi adalah ketidaksejajaran tubuh, di mana satu bahu atau pinggul tampak lebih tinggi dari yang lain, atau terlihat adanya tonjolan pada salah satu sisi punggung.
Gejala skoliosis pada bayi dapat termasuk ketidakseimbangan atau ketidaksejajaran pada bagian tubuh, seperti bahu atau pinggul yang terlihat lebih tinggi atau menonjol satu sisi lebih dari yang lain. Hal ini dapat terlihat jelas saat bayi dalam posisi berbaring atau duduk. Selain itu, bayi yang mengalami skoliosis biasanya menunjukkan tonjolan di salah satu sisi punggung ketika mereka berada dalam posisi berdiri atau pada posisi tertentu. Perubahan lainnya dapat mencakup tidak simetris pada tulang rusuk, di mana satu sisi tulang rusuk lebih menonjol daripada sisi lainnya, menciptakan ketidakseimbangan pada profil tubuh bayi.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya preventif untuk mencegah terjadinya skoliosis, dengan cara pemantauan perkembangan anak secara teratur dan kesadaran akan faktor risiko yang dapat mempengaruhi kondisi ini. Pertama, penting untuk memastikan bahwa anak mengikuti tahapan perkembangan motorik yang normal, termasuk fase merangkak yang membantu menguatkan otot-otot punggung dan tulang belakang. Orang tua harus memastikan lingkungan yang aman dan sesuai untuk anak merangkak dan bergerak secara bebas. Menghindari penggunaan alat bantu seperti baby walker yang dapat mengganggu perkembangan motorik alami juga sangat penting. Selain itu, menjaga postur tubuh yang baik sejak dini juga dapat membantu mencegah skoliosis. Anak-anak harus diajarkan untuk duduk dan berdiri dengan posisi yang benar, dengan bantuan kursi yang mendukung postur tulang belakang. Berbagai aktivitas fisik yang memperkuat otot inti dan punggung juga dapat membantu dalam mencegah kelengkungan abnormal tulang belakang.
Apabila skoliosis sudah terjadi, upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi masalah tersebut adalah dengan pendekatan yang hati-hati dan terkoordinasi antara orang tua, dokter, dan tim medis terlatih. Langkah pertamanya adalah konsultasi dengan dokter spesialis ortopedi atau pediatrik untuk diagnosis yang tepat. Setelah diagnosis ditegakkan, penanganan tergantung pada tingkat keparahan skoliosis. Untuk kasus ringan, dokter mungkin merekomendasikan pemantauan teratur untuk melihat perkembangan kondisi tanpa perlu intervensi langsung. Namun, dalam kasus yang lebih parah atau progresif, intervensi medis mungkin diperlukan.
Pengobatan untuk skoliosis pada bayi dapat meliputi penggunaan alat penyangga tulang belakang khusus untuk membantu mempertahankan posisi tulang belakang yang baik. Terapi fisik juga dapat direkomendasikan untuk memperkuat otot-otot yang mendukung tulang belakang dan meningkatkan fleksibilitas tubuh. Dalam beberapa kasus, operasi mungkin diperlukan untuk mengoreksi kelengkungan tulang belakang yang signifikan. Selain perawatan medis, penting juga untuk memberikan perhatian ekstra pada perawatan bayi, termasuk memastikan bahwa mereka tetap nyaman dan dapat beraktivitas sehari-hari secara normal. Mendukung mereka dalam proses penyembuhan dan memastikan lingkungan yang aman dan mendukung untuk perkembangan mereka juga merupakan bagian penting dari penanggulangan skoliosis pada bayi.
Kesimpulannya, fase merangkak pada bayi adalah periode penting dalam perkembangan motorik dan kesehatan tulang belakang, yang sering kali dianggap remeh oleh orang tua yang tidak memiliki pengetahuan memadai. Melewati fase ini tanpa memperhatikan dampaknya dapat meningkatkan risiko masalah seperti skoliosis, sebuah kelainan pada kelengkungan tulang belakang. Data menunjukkan bahwa sebagian bayi mengalami keterlambatan dalam perkembangan motorik, dan tanpa perhatian yang tepat, mereka bisa mengalami komplikasi serius. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memahami dan mendukung setiap tahap perkembangan motorik bayi dengan cara yang benar, serta menghindari kebiasaan yang dapat mengganggu perkembangan alami. Penanganan skoliosis pada bayi yang sudah terjadi memerlukan pendekatan medis yang hati-hati, termasuk pemantauan rutin, terapi fisik, dan dalam kasus tertentu, intervensi medis. Dengan pengetahuan yang tepat dan perawatan yang sesuai, risiko skoliosis dapat diminimalkan dan kesehatan tulang belakang bayi dapat terjaga dengan baik.
REFERENSI
Chico-Morales, I. J., Narváez-Pupiales, S. K., Umaquinga-Criollo, A. C., & Rosero-Montalvo, P. D. (2022). Application of embedded accident prevention system for in- fant crawlingstage in intelligent textiles. Wearable Technology, 3(1), 56–62. https://doi.org/10.54517/wt.v3i1.1662
Damayanti, E., AR, U. M., & Ismawati, I. (2020). Analisis Capaian Perkembangan Sosial Anak Usia 11 Bulan Berdasarkan Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak. JECED: Journal of Early Childhood Education and Development, 2(2), 87-96.
Di Felice, F., Zaina, F., Donzelli, S., & Negrini, S. (2018). The natural history of idiopathic scoliosis during growth: a meta-analysis. American journal of physical medicine & rehabilitation, 97(5), 346-356.
Dini, J. P. A. U. (2023). Perbedaan Tingkat Konsentrasi dalam Penyelesaian Puzzle oleh Anak Usia 3-4 Tahun antara yang Merangkak dan Tidak Merangkak. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 7(2), 2518-2527.
Elisanti, A. D. (2017). Perkembangan Kemampuan Berjalan Anak Usia 9-15 Bulan Yang Menggunakan Alat Bantu Berjalan (Baby Walker) Di Puskesmas Bungah Gresik. https://osf.io/gt5ck
Karol, L. A. (2019). The natural history of early-onset scoliosis. Journal of Pediatric Orthopaedics, 39, S38-S43.
Nafisah R, N. (2021). Perbedaan Tingkat Konsentrasi Dalam Menyelesaikan Puzzle Pada Anak Usia 3-4 Tahun Yang Melewati Fase Merangkak Dan Tidak Melewati Fase Merangkak. Universitas Jember. https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/104344
Ridderbusch, K., Spiro, A. S., Kunkel, P., Grolle, B., Stücker, R., & Rupprecht, M. (2018). Strategies for treating scoliosis in early childhood. Deutsches Ärzteblatt International, 115(22), 371.
Saurina, N. (2016). Aplikasi Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak Usia Nol Hingga Enam Tahun Berbasis Android. Jurnal Buana Informatika, 7(1). https://ojs.uajy.ac.id/index.php/jbi/article/view/485
Silalahi, B. (2020). Hubungan Peran Ibu dengan Perkembangan Motorik Kasar dan Halus Usia 3 Tahun di PAUD Imelda. Jurnal Keperawatan Priority, 3(1), 75-82.
Silitonga, B. A., Sinaga, A., Sembiring, I. S., & Agussamad, I. (2023). Pengaruh Stimulasi Assisted Crawling Terhadap Kemampuan Merangkak Bayi di Puskesmas BP Nauli Kec. Siantar Marihat Kota Pematangsiantar Tahun 2023. OBAT: Jurnal Riset Ilmu Farmasi dan Kesehatan, 1(6), 20-27.
Wati, S., Hafsah, H., & Hidayah, N. (2024). Asuhan Kebidanan Komprehensif Pada Ny. K Umur 29 Tahun Dengan Kekurangan Energi Kronik (KEK), Skoliosis Badan dan Tinggi Badan Kurang Dari 140 Cm Di Wilayah Kerja Puskesmas Paguyangan Kec. Paguyangan Kabupaten Brebes Tahun 2023. Journal of Creative Student Research, 2(1), 308-317.
Yamamoto, S., Matsumura, U., Yeonghee, L., & Tsurusaki, T. (2023). Variability in infant crawling with typical development and risk of developmental delay. Early Child Development and Care, 1–13. https://doi.org/10.1080/03004430.2023.2190867
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H