Mohon tunggu...
Maharani Pambayun
Maharani Pambayun Mohon Tunggu... -

Marhaeni Eva (M.E) adalah seorang penulis otodidak. Ia lahir pada 7 Desember di Karanganyar, Surakarta, anak dari Sri Subekti asal Prambanan dan Sudardi Bambang Kristyanto asal Solo. Ibu dari Noni dan Gigih, buah pernikahannya dengan Pak Wisnu ini sekarang berkarya dan bermukim di Yogyakarta. Karya pertamanya berupa novel bertema kritik sosial dengan judul Berguru pada Anjing (Galang Press 2005) telah banyak dibahas oleh peminat sastra, mahasiswa S2, bahkan hingga Australia dan Singapura karena dianggap anti-struktur. Novel keduanya Air Mata Retak pun baru saja diterbitkan (Grasindo, Oktober 2009). Feminisme, kesenian budaya bangsa, keanekaragaman hayati, romantisme yang tidak cengeng, terangkum dalam novel fiksi ini. Sedangkan Sajadah Kehidupan (2010) merupakan buku kumpulan puisi pertamanya di mana rmemiliki rasa spiritual yg sangat tajam.[] Facebook: eva.marhaeni@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gamelan bukan untuk Dilestarikan, Melainkan untuk Dimainkan

20 Juli 2010   09:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:44 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pikiran itulah yang terbersit dalam benak ketika menyaksikan acara penutupan Festival Gamelan Yogyakarta di Taman Budaya Yogyakarta, Minggu 18 Juli 2010, pukul 20.30-23.30. Acara yang dimulai sekitar pukul setengah sembilan malam tersebut disaksikan oleh lebih dari 3000 orang yang berasal dari berbagai kelas, komunitas-komunitas, tua-muda, dan latar belakang sosial lainnya. Menonton musikalisasi secara cuma-cuma alias gratis merupakan sebuah kemewahan bagi kalangan mayoritas yang berkantong cekak. Konsep tontonan rakyat yang gratis ini tentu saja sangat mendukung penyebarab semangat masyarakat untuk kembali menggauli artefak budayanya yang adiluhung.

Lebih dari tiga ribu penonton dipukau oleh sekelompok orang bule dari Universitas Minnesota, USA yang memainkan gamelan dengan pakem klasik sekaligus menembangkan beberapa lagu Jawa dan menarikan sebuah tarian Beksan. Tembang Jawa tersebut dinyanyikan dengan cengkok Jawa yang luwes oleh komunitas yang menamakan diri Sumunar tersebut. Mayoritas dari orang asing tersebut telah mempelajari gamelan dan budaya Jawa lainnya, seperti tari, membatik, dan menembang sejak paling sedikit 10 tahun yang lalu. Para pemain berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, bahkan beberapa telah meraih gelar Ph.D dan profesor di bidang masing-masing di luar bidang seni.

Adapula, beberapa repetoir ensemble gamelan yang dibawakan teman-teman dari beberapa universitas di Singapura. Sebagai informasi, di kampus mereka, belajar gamelan menjadi mata kuliah wajib dan dalam beberapa tahun belakangan ada sekitar 1000 mahasiswa Singapura yang belajar gamelan sekaligus filosofi yang terkandung di dalamnya.

Pembawa acara merangkap sebagai panitia acara juga menceritakan bahwa sejak lima tahun yang lalu, kelompok pecinta gamelan asal Israel ingin ikut menampilkan kebolehan dalam acara-acara serupa di Jogja. Namun, karena berbagai hal, permintaan tersebut belum dapat dikabulkan. Ternyata, kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa begitu disambut dengan antusias oleh orang-orang di seluruh dunia. Almarhum Gesang, Didi Kempot, dan Waljinah misalnya, mereka lebih dikenal dan dihargai di luar Indonesia. Beberapa negara seperti Malaysia dan Jepang pun menawarkan mereka untuk menjadi warga negaranya berikut jaminan berbagai fasilitas menggiurkan. Bagai bumi dengan langit, di negeri sendiri pegiat budaya tidak dihargai oleh pemerintah. Ketidakpedulian pemerintah brdampak pada ketidaktahuan dan ketidakpedulian masyarakat terhadap nasib budaya Indonesia dan para pegiatnya.

Dari sekitar 3000 lebih penonton, mungkin tidak sampai 10% yang intens mempelajari gamelan, tarian, dan juga tembang Jawa serta filosofinya. Bahkan sedikit sekali yang bisa membedakan mana Bonang, Saron, Peking serta nama tembang dan tarian Jawa.

Institut Seni Indonesia pun membuka jurusan pedalangan secara gratis, namun tetap sepi peminat. Sanggar untuk belajar tari dan gamelan pun banyak dan tidak dipungut biaya. Di salah satu sanggar tari di Jogja milik Wisnu Wardhana, pemilik sanggar saat ini yang adalah istri dari almarhum Pak Wisnu mengeluhkan sulitnya mencari penari baru. Meski tidak dipungut biaya, sedikit sekali masyarakat yang datang untuk belajar menari, paling hanya kurang dari lima orang, itupun tidak intens. Keinginan untuk membuat pagelaran pun terkendala masalah dana yang selalu harus merogoh kocek sendiri.

So, buat para loggers Jogja yang penat bermain di dunia maya. Mau nongkrong di alun-alun atau malioboro kena parkir. Ke mall? Malah konsumtif. Mending ramai-ramai kita belajar menari, membatik, menyanyikan tembang-tembang Jawa, dan belajar gamelan. Semuanya GRATIS!!! Ongkos PARKIR pun tak ada… heheheheh… Buat bloggers yang tinggal di luar Jogja, mungkin jadwal liburan selanjutnya adalah belajar budaya.

Kebudayaan tidak untuk dilestarikan tetapi untuk dikenali, dipahami, dipelajari, diresapi filosofinya dan diwujudkan dalam hidup sehari-hari.

INDONESIA JAYA SUDAH DI DEPAN MATA!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun