Mohon tunggu...
Maharani Pambayun
Maharani Pambayun Mohon Tunggu... -

Marhaeni Eva (M.E) adalah seorang penulis otodidak. Ia lahir pada 7 Desember di Karanganyar, Surakarta, anak dari Sri Subekti asal Prambanan dan Sudardi Bambang Kristyanto asal Solo. Ibu dari Noni dan Gigih, buah pernikahannya dengan Pak Wisnu ini sekarang berkarya dan bermukim di Yogyakarta. Karya pertamanya berupa novel bertema kritik sosial dengan judul Berguru pada Anjing (Galang Press 2005) telah banyak dibahas oleh peminat sastra, mahasiswa S2, bahkan hingga Australia dan Singapura karena dianggap anti-struktur. Novel keduanya Air Mata Retak pun baru saja diterbitkan (Grasindo, Oktober 2009). Feminisme, kesenian budaya bangsa, keanekaragaman hayati, romantisme yang tidak cengeng, terangkum dalam novel fiksi ini. Sedangkan Sajadah Kehidupan (2010) merupakan buku kumpulan puisi pertamanya di mana rmemiliki rasa spiritual yg sangat tajam.[] Facebook: eva.marhaeni@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Air Mata Retak - Sebuah Novel

9 Maret 2010   05:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:32 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KISAH MEMILUKAN TENTANG PERGULATAN HIDUP SEORANG PEREMPUAN YANG INGIN MENJADI DIRINYA SENDIRI

“…Tuhan itu tercipta saat manusia mempunyai cita-cita atau impian, namun tak terlaksana. Jadi, apa yang selama ini manusia bayangkan tentang Tuhan hanyalah suatu sosok yang muncul karena keinginan, mimpi dan kekecewaan. Ketika manusia terbentur pada ketiga hal itu maka manusia segera membayangkan Tuhan……."
(Airmata retak, halaman 35)

Penggalan cerita di atas seolah mampu mewakili pesan dari novel Air Mata Retak karya Marhaeni Eva yang menyindir dengan satir budaya yang feodal, agama yang patriakal dan hukum perundangan yang tidak membumi. Maka Nawangsasi, tokoh utama dalam novel ini, ditemani oleh kekasihnya Djati dengan sabar dan penuh keteguhan hati melawan tirani budaya yang telah bercokol dengan pongah tersebut.
Berawal dari pertemuan tak disengaja dua insan yang terlunta dalam sebuah acara pameran lukisan. Pesona elok kecantikan Nawangsasi yang tak hanya mahir melukis tetapi juga mumpuni sebagai penari seolah menjadi penyiram dahaga jiwa bagi Djati sehingga ia pun jatuh hati. Selanjutnya, pertemuan kedua insan tersebut membuat mereka saling mengenal akrab dan menemukan minat yang sama satu sama antara keduanya. Misteri yang terbungkus rapi di balik sorot mata yang tiba-tiba meredupkan keceriaan sang bidadari, membuat Djati semakin tertarik pada perempuan unik ini. Tetapi tak mudah untuk meluluhkan hati seorang gadis yang telah berhenti mempercayai lelaki. Namun, lewat usaha yang gigih akhirnya ia bisa merintis perjalanan bersama Nawang. Meski bukan perjalanan yang menawarkan gelaran permadani merah bertabur wangi melati, melainkan jalan yang tak terbayangkan liku-likunya.
Di awal halaman, pembaca akan langsung disuguhi oleh upacara pernikahan Djati dan Nawangsasi yang hanya dihadiri oleh sahabat dekat tanpa seorang imam dari agama apapun. Hal ini adalah salah satu perlawanan penulis terhadap hukum negara yang hanya mengakui enam agama tanpa mengakomodir sekian banyak aliran kepercayaan lainnya yang telah ada sejak zaman nenek moyang kita.
Kita juga bisa melihat praktik feodalisme dan budaya partriarki yang dilakukan secara keji bahkan oleh sesama kaum perempuan yang menjadi agen dari feodalisme dan patriarkalisme melalui penuturan Nawangsasi tentang luka masa lalunya.
Sepanjang alur,pembaca juga akan diajak berjalan menelusuri seting cerita seperti; desa pelosok di daerah Bantul, pedesaan di lereng Lawu, Ambarawa, dan Candi Gedong Songo di mana digambarkan bahwa kearifan lokal mulai memudar karena larangan agama yang lebih mengutamakan syariat dan ibadah fisik sehingga bencana yang disebabkan oleh diabaikannya kearifan lokal oleh masyarakat terjadi di mana-mana. Bukan hanya bencana alam namun juga bencana kemanusiaan. Di sini Air Mata Retak menyisipkan pesan dan mengajak pembaca menelusuri kembali artefak-artefak peninggalan budaya serta kepedulian terhadap ekologi yang makin terpinggirkan. Tak hanya tingkat lokal saja, penulis juga mampu menggambarkan masyarakat dunia yang humanis dan pluralis lewat kemegahan kota Paris, ketenaran Pearl Harbour dan Volcano Theater di Hawaii, serta kemegahan Gunung Fuji di Jepang.
Novel ini juga tidak lepas dari nuansa cinta. Meski tema cinta sudah umum dibawakan dalam novel, namun Marhaeni, demikian sapaan akrabnya, mampu mengemas tema tersebut menjadi unik. “Dia (Marhaeni Eva, -Red) membebaskan cinta dari perangkap penuturan yang merendahkan dan memuja seksualitas layaknya sebuah spiritualitas yang harus diagungkan,” tutur Martin Aleida, wartawan dan penulis cerpen serta novel.
Pembaca juga akan dikejutkan oleh akhir cerita yang tak terduga dan menguras airmata.
***
Siapakah sesungguhnya Marhaeni Eva? Marhaeni kecil lahir dan tumbuh di desa dekat kaki Gunung Lawu. Ayahnya adalah seorang mantri kesehatan yang ditugaskan di pelosok dusun, yang pada masa akhir orde lama menuju awal orde baru harus berjalan belasan kilo guna mengobati masyarakat yang hanya mampu membayarnya hanya dengan seikat sayuran, singkong, atau beberapa liter beras.
Setelah Marhaeni menikah, urusan rumah tangga yang tiada putusnya membuat keinginannya untuk menulis tertunda begitu lama. Namun, hal tersebut tidak mampu mematikan gairahnya untuk berkarya. Puluhan puisi dan belasan cerpen yang belum diterbitkan telah berhasil ditelurkan oleh lulusan pendidikan guru ini.
Belajar menulis dilakukan Eva secara otodidak. Bakat yang sudah muncul sejak kecil dimulai dari minat bacanya yang sangat tinggi. Belum genap 10 tahun, Eva sudah melahap buku karya H.C Anderson dan terperangah oleh salah satu karya Kahlil Gibran yang kala itu begitu sulit dipahaminya namun justru jadi pemicu kegelisahan kreatifnya. Sebagai seorang anak kecil, ia tidak habis pikir membayangkan ada dunia yang begitu berbeda dengan tempat ia tinggal di mana ada musim salju, pohon maple, poplar, willow, yang baginya demikian asing namun menarik keingintahuannya.
Setelah menunggu begitu lama dalam pertapaan kreatifnya, pada tahun 2003 dari “kandungan”nya yang terlalu lama menahan “kontraksi” pun lahirlah novelnya yang pertama berjudul Berguru pada Anjing, sebuah novel tentang kritik sosial yang disuarakan oleh seorang perempuan gila bernama Srikandi.
Airmata Retak adalah novel keduanya yang telah diterbitkan. Feminisme, kesenian budaya bangsa, keanekaragaman hayati, romantisme yang tidak cengeng, terangkum dalam cerita fiksi ini.[]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun