Mohon tunggu...
Fajrin Marhaendra Bakti
Fajrin Marhaendra Bakti Mohon Tunggu... -

Mahasiswa yang mencoba kritis terhadap penyimpangan-penyimpangan dan fenomena baru.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Review Film: Di Balik Frekuensi

28 Maret 2013   07:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:06 2475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pemutaran Film "Di Balik Frekuensi" seolah membuka tirai yang selama ini menutupi dunia media massa (khususnya televisi) di Indonesia. Borok yang selama ini ada namun dibuat seolah tidak ada, diungkap gamblang dalam film berformat dokumenter ini. Dengan 144 menit yang tersedia, sang aktor, luviana, merasa waktu yang diberikan kurang untuk mengupas habis keburukan dari pilar keempat demokrasi di Indonesia tersebut. "Masih banyak yang perlu dibenahi, di film ini hanya sebagian kecil saja", komentarnya saat ngobrol dengan saya diselah-selah pemutaran.

Film “Di Balik Frekuensi” mengangkat dua kasus dalam dua media massa yang berbeda. Kebetulan, dua media massa ini adalah Lembaga TV swasta yang dimiliki oleh dua orang politisi yang berada pada posisi puncak dalam partai politik yang diusungnya. Surya Paloh sebagai pemilik Metro TV sekaligus Pendiri dan ketua Partai Nasional Demokrat (NasDem). Juga ada Aburizal Bakrie yang menguasai TV One serta sebagai Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar).

Kedua pengusaha media ini diperhadapkan dengan kasus yang berbeda, tetapi tetap dalam koridor yang sama. "Sama-sama menghilangkan hak manusia sebagai manusia", Menurut Taro, peserta diskusi film ini. Metro TV dihadapkan dengan seorang Luviana yang menuntut haknya untuk berserikat dan berkumpul. Mencoba menguatkan posisi jurnalis dalam sebuah instansi media massa.

Metro TV dikonfrontir oleh perlawanan-perlawanan tanpa kenal lelah oleh seorang Luviana. Konsolidasi kerap dilakukan, koordinasi dengan kawan-kawan pendukung terus muncul dipermukaan, hingga pada akhirnya Luviana harus ‘face to face’ dengan seorang Surya Paloh di sekretariat NasDem. Ini seolah menjadi scene klimaks dari rangkaian cerita di film tersebut. Disini kita menjadi sadar akan pengaruh media yang dapat memberikan efek psikologis kepada orang yang berada di depan lensa. Juga yang menarik adalah pelarangan dokumentasi pertemuan Luviana dengan Metro TV dan penyusunan cerita yang dramatis.

Dalam scene ini, juga ditampilkan bagaimana seorang Surya Paloh yang begitu arogan dan mendominasi forum. Hingga kemudian, dibantah oleh seorang anggota LBH dari Luviana, kemudian dilanjutkan oleh tangisan Luviana dan ditutup dengan janji manis dari Surya Paloh. Sangat disayangkan, kenapa Luviana harus menangis dalam scene ini. Mungkin ini sebagai bentuk keprihatinan kepada Metro TV yang mematikan harapan seorang Luviana. Mematikan mimpi seorang ibu, mematikan kejujuran dan keadilan, serta  penghianatan terhadap hak-hak pekerja. "Media mematikan manusia", Masih menurut Taro.

Konflik kedua dibuka dengan perjungan seorang Hary Suwandi korban semburan lumpur Porong yang diakibatkan oleh kesalahan perusahaan minyak dan gas, Lapindo Brantas Inc, salah satu anak perusahaan Bakrie Group yang diakusisi oleh Minarak Labuan Co Ltd pada tahun 2004. Perjuangan yang dilakukan adalah melakukan aksi jalan kaki dari Sidoarjo ke Jakarta untuk menuntut ganti rugi ke Aburizal Bakrie yang dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab dengan bencana yang tak kunjung usai hingga kini.

Terdapat perbedaan fokus dari pemberitaan kasus ini. Dalam berita yang dihadirkan oleh stasiun TV non jaringan Bakrie group, selalu ditampilkan bagaimana sosok lelaki pejalan kaki ini merepresentasikan aspirasi korban semburan lumpur porong, berjalan seolah menjadi bentuk perjuangan dan perlawanan kepada Aburizal Bakrie yang semena-mena. Berbeda dengan pemberitaan yang dialakukan oleh media Bakrie Group yang tergabung dalam PT Visi Media Asia, salah satunya TV One, fokus dialihkan dan dikemas agar audience menganggap seolah-olah aksi ini hanyalah sensasi. Karena menurut pemberitaan TV One, lelaki ini bukan orang Sidoarjo dan beliau bukan salah satu korban semburan lumpur porong. Ini diperkuat oleh wawancara-wawancara oleh reporter TV One terhadap aliansi korban lumpur porong.

Sudah saatnya kita membuka diri, mengkritik pilar keempat demokrasi. Tidak adil rasanya, kita hanya memberikan eksepsi kepada ketiga pilar lainnya (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif) tetapi mengabaikan satu pilar yang juga memegang peran yang sangat vital. "Nggak adil kan, media menggiring kita untuk beropini tentang Pemerintah, Dewan dan Hakim, tetapi mereka tak pernah mendidik kita untuk kritis terhadap mereka (media)", pungkas Luviana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun