Indonesia dikenal sebagai negara sasaran yang selalu tepat untuk "melariskan dagangan" luar negeri. Sikap masyarakatnya yang sangat terbuka menjadi kesempatan emas bagi kebudayaan baru untuk masuk, salah satunya Korean Wave yang dapat dikatakan mendapat sambutan hangat di negara seribu candi ini.Â
Korean Wave berdampak pada berbagai segi kehidupan masyarakat Indonesia, salah satunya gaya bersastra para remajanya. Sejak tahun 2000an saat K-Pop masuk ke tanah air, jumlah cerita fiksi yang menggunakan anggota boy/girl group Korea sebagai pemeran-pemerannya semakin meningkat. Fiksi penggemar dengan tokoh idola Korea ini lah yang disebut gaya bersastra baru.
Tak jarang cerita-cerita fiksi oppa Korea ini banyak menarik perhatian banyak remaja, mengingat jumlah penggemar K-Pop di Indonesia sudah tidak terhitung. Cerita jenis ini banyak yang sukses di ranah media sosial karena cakupan pembacanya yang luas, bahkan hingga berhasil diterbitkan dalam bentuk  buku dan difilmkan. Hal ini tentunya menjadikan idola-idola Korea semakin tidak dapat dipisahkan dengan fiksi remaja Indonesia.
Namun, bukan hanya karena peluang kesuksesan tinggi yang menjadi alasan para remaja Indonesia menggunakan idola Korea sebagai tokoh ceritanya, tetapi juga karena penampilan sang idola yang tak jarang cocok dengan karakter yang ingin digambarkan.
Tentunya hal ini memiliki dampak positif dan negatif. Jika dilihat dari sisi positifnya, gaya cerita fiksi yang seperti ini dapat membantu para pembaca untuk memahami variasi dalam setiap karya fiksi. Selain itu, pembaca juga secara tidak langsung dapat mempelajari budaya dan bahasa Korea melalui tokoh-tokoh yang terkadang memang digambarkan sebagai warga asli Korea Selatan.
Jika dilihat dari sisi negatifnya, idola Korea yang mendominasi cerita fiksi remaja Indonesia dapat menurunkan minat pembaca terhadap cerita-cerita fiksi yang tidak menggunakan idola Korea sebagai tokohnya. Hal ini juga dapat memunculkan fanatisme terhadap oppa-oppa yang dapat berakibat ke memudarnya kebudayaan Indonesia dalam diri pembaca.
Lalu, bagaimana cara mengembalikan fenomena bersastra remaja Indonesia yang "melokal"? Apakah cerita-cerita fiksi remaja tanpa oppa dapat sesukses cerita fiksi yang menggunakannya?
Tidak ada cara untuk mengembalikan gaya bersastra remaja Indonesia yang "melokal" dan meninggalkan idola Korea sebagai pemerannya. Tidak ada cara untuk memulangkan oppa-oppa ke negara asal mereka. Ini semua adalah proses dari berkembangnya gaya bersastra di tanah air, yang memang harus dilewati dengan prinsip memajukan tanah air, yang juga akan menjadi sejarah pada beberapa tahun mendatang, di periode sastra yang baru.
Yang harus selalu diterapkan adalah bahwa seluruh pengarang menciptakan seluruh karyanya untuk memajukan diri sendiri dan bangsa Indonesia. Cerita-cerita fiksi tanpa idola Korea juga dapat menembus sekat dunia jika pengarangnya memiliki niat yang kuat untuk memajukan sastra di tanah air. Setiap pengarang dapat menciptakan gaya bersastra masing-masing yang akan menjadi keunikan masing-masing pula, tetapi tetap dengan tujuan yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H