Memahami corak pemikiran post-modernisme tentu berbeda halnya dengan pemikiran modern. Hal tersebut mendapat beberapa definisi terkait post-modernisme yang dipelopori oleh para filsuf post-modernisme seperti, Derrida, Michel Foucault, Jurgen Habermas, Graffin dan lainnya.Â
Pola nalar yang digunakan oleh filsuf post-modernisme sebagai bentuk gugatan akan pemikiran modernitas yang hanya berdasar pada rasionalitas dan empirisme. Sehingga Derrida dan Foucault mendefinisikan post-modernisme sebagai bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori.Â
Begitupun Jurgen Habermas yang mendefinisikan post-modernisme sebagai satu tahap dari modernisme yang belum selesai. Sehingga, pemahaman akan sebuah realitas dalam post-modernisme, dapat dipastikan tidak adanya suatu makna yang tunggal. Hal tersebut dikarenakan dunia sosial tempat manusia hidup, akan selalu berubah dan dinamis mengikuti perkembangan zaman sebagai bagian dari bentuk evolutif.Â
Oleh karenanya, ciri pemikiran post-modernisme lebih ditujukan pada dekonstruksi dibanding rekonstruksi makna. Upaya membongkar kembali pemaknaan yang selama ini menjadi asumsi umum, kemudian ditransformasikan dengan kebutuhan zaman untuk dikembangkan dalam sebuah makna baru.Â
Demikian halnya makna kekuasaan yang dikonsepsikan tidak hanya berada dalam institusi ataupun negara. Tetapi, kekuasaan telah bertransformasi dalam bentuk hubungan yang lain seperti perkembangan ekonomi, pengetahuan, hingga bentuk hubungan sosial sehari-hari. Foucault mendefinisikan kekuasaan tersebut sebagai satu dimensi dari suatu relasi, dengan dalil dimana ada relasi, disana ada kekuasaan (Kellner, 2003: 40).
Proses interaksi manusia yang dikembangkan dalam bentuk bahasa, kemudian melahirkan sebuah diskursus ilmu pengetahuan dengan sebuah pencarian makna yang benar dan mengeleminasi apa yang salah. Sehingga, hal tersebut nantinya melahirkan kehendak untuk kebenaran, dan ungkapan lain dari kehendak untuk berkuasa (will to power) yang selaras dengan penganut filsafat eksistensialisme Neitzche.Â
Dengan demikian, pengetahuan tidak memiliki nilai yang netral dan murni, dikarenakan telah terjadi kekuasaan atas ilmu pengetahuan tersebut (Afandi, 2012: 141). Sederhananya siapa yang berkuasa, dia yang berhak menentukan pengetahuan. Begitupun dalam bahasa yang merupakan produk wacana manusia dalam berinteraksi.Â
Pemaknaan suatu konsep ataupun bahasa yang digunakan sehari-hari, tentu terdapat kekuasaan atau kepentingan yang hendak disematkan dalam rangka mempengaruhi opini publik. Hal tersebut dilakukan secara sadar ataupun tidak telah memproyeksikan bahwa manusia hidup dalam diskursus wacana sehari-hari hanya demi penemuan sebuah makna tunggal yang bersifat utopis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H