Mohon tunggu...
Margono Dwi Susilo
Margono Dwi Susilo Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

Pendidikan : SD-SMP-SMA di Sukoharjo Jawa Tengah; STAN-Prodip Keuangan lulus tahun 1996; FHUI lulus tahun 2002; Magister Managemen dari STIMA-IMMI tahun 2005; Pekerjaan : Kementerian Keuangan DJKN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekali Lagi Tentang Islam Nusantara

19 Oktober 2015   15:50 Diperbarui: 19 Oktober 2015   18:15 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Istilah Islam Nusantara (IN) diwacanakan oleh ormas islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), dan menjadi tema besar dalam muktamar NU ke-33 tanggal 1-5 Agustus 2015 di Jombang Jawa Timur. Kontroversipun muncul. Pihak yang alergi khawatir jika ide IN akan memunculkan singkritisme baru antara islam dan kejawen, atau setidaknya akan semakin mengkotak-kotakan umat islam. Mereka beranggapan bahwa islam itu telah sempurna, sehingga bentuk sinergi dengan paham apapun harus seminimal mungkin, kalau bisa dihindari.

NU yang mengusung ide IN juga mendapat kecaman dari berbagi pihak yang menuduh bahwa ide IN berasal dari anasir islam liberal yang bergerilya dalam tubuh NU. Front Pembela Islam (FPI), meyakini bahwa ide IN muncul karena pengaruh islam liberal dan syiah. Beberapa pihak juga khawatir ide IN merupakan embrio anti Arab (untuk tidak menyebutnya anti Islam).

Kalau dicermati tema pengkritik IN relatif mirip, yaitu islam itu tunggal, jika ada Islam Nusantara, tentu akan ada yang mengklaim Islam Arab, Islam Jawa, Islam Iran, Islam Amerika dst. Coba simak pernyataan anggota DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Muhammad Siddiq Al-Jawi. "Istilah ini salah, tidak boleh karena apa ? Islam itu universal, tidak bisa dilokasisikan, atau istilah ini terlalu kasar, dilokalkan. karena itu Islam universal, tidak boleh kemudian ada Islam Nusantara, nanti kalau boleh, ada Islam Malaysia, Islam Australia, bahkan mungkin nanti lebih kecil lagi, Islam Nusantara nanti bisa macam-macam".  

Kacaulah islam kalau berjenis-jenis macam itu, seolah-olah Alloh dan Rasul SAW mengajarkan berbagai tipe tentang islam. Lebih jauh IN dianggap berpotensi mereduksi kesejatian islam menjadi liberal dan relatif.  Tidak sedikit yang menuduh bahwa IN merupakan kelanjutan dari proyek sekularisasi yang tonggaknya telah ditancapkan oleh Nurcholish Madjid pada awal tahun sembilanpuluhan. Jonru (pendukung Prabowo) menuduh bahwa IN sesat. Lebih jauh beberapa pihak menuding bahwa ide ini diwacanakan oleh NU karena ormas islam terbesar ini mulai gerah dan kedodoran menghadapi gelombang salafisme.

Kalau kita perhatikan, penentang IN kebanyakan berasal dari organisasi atau person yang pro formalisasi syariah bahkan pro khilafah. IN tentu menjadi penghalang bagi upaya mereka.

Sebaliknya pendukung IN berkeyakinan ide ini akan mampu menampilkan islam yang ramah. Azyumardi Azra mengatakan model IN dibutuhkan oleh masyarakat dunia saat ini, karena ciri khasnya mengedepankan "jalan tengah." Lebih jauh Azra berkomentar “Karena bersifat tawasut (moderat), jalan tengah, tidak ekstrim kanan dan kiri, selalu seimbang, inklusif, toleran dan bisa hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain, serta bisa menerima demokrasi dengan baik." Azra meniscayakan bahwa ekpresi keislaman orang-orang nusantara berbeda dengan Timur Tengah.

Menjawab tuduhan para penentang, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj menegaskan IN bukan sinkretisme agama yang mencampuradukkan berbagai keyakinan. Islam Nusantara, ujarnya, merupakan ajaran Islam yang menyadari bumi tempatnya berpijak. Artinya, ajaran Islam tidak menyingkirkan tradisi yang sudah ada di Nusantara sepanjang jelas-jelas tidak bertentangan dengan syariat Islam.

"Islam melebur dengan budaya tersebut karena pendekatan dakwah di Nusantara ini pendekatan budaya, bukan senjata seperti di Timur Tengah. Di Nusantara, (pendekatannya) dilandasi oleh pergaulan baik, akhlak mulia, dan budaya," tutur Said Aqil.

Rupanya NU, yang didukung pemerintah, telah all-out memperjuangkan IN. Simak misalnya pernyataan KH Afifuddin Muhajir yang merupakan Katib Syuriyah PBNU, "Dalam pengertian hukum yang terakhir ini kita sah dan wajar menambahkan pada ‘Islam’ kata deiksis, seperti Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Mesir, dan seterusnya. Makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara".

Lebih lanjut, fungsionaris NU, Yahya Cholil Staquf, mengkritik HTI dan orang-orang islam yang gagal paham, “maka sikap permusuhan terhadap Islam Nusantara jelas lahir dari akal yang lebih mblenyek ketimbang terong gosong. Lha wong Terong Gosong saja mendukung Islam Nusantara dengan riang-gembira kok! Silahkan perhatikan, dari kelompok mana saja munculnya permusuhan itu. Kita bisa dengan mudah sampai kepada kesimpulan bahwa mereka itu orang-orang yang tidak ingin bangsa dan negara ini kokoh-lestari. Terlalu gamblang bahwa propaganda permusuhan terhadap Islam Nusantara itu beraroma bujukan agar kita mengabaikan jati diri kebangsaan kita."

SINERGI AGAMA DAN BUDAYA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun