Cara ketiga adalah dengan memberikan panggung pada ustadz moderat yang berakar dari budaya Indonesia. Kita tidak kekurangan ustadz moderat yang berasal dari pesantren Nahdlatul Ulama atau sekolah Muhamadiyah. Jika ada penceramah yang provokatif, turunkan saja. Keempat operasi intelligent. Teroris itu hobinya memelintir ayat dan mengeraskan dogma untuk tujuan kekuasaan. Otaknya sudah dicuci habis, nalarnya mati, yang tersisa hanya kebanggaan sebagai makhluk suci dengan misi ilahiah. Dengan mengutip Jiwa narsistis-schizroifenik-dogmatis seperti ini hanya bisa dihentikan dengan operasi intelligent dan timah panas. Langkah awal bisa dilakukan dengan revisi UU Terorisme atau Perppu.
Jujur kedua adalah kita harus dengan jernih memberi jawaban atas pertanyaan Amstrong, "Apa yang mengubah agama dari domba jinak menjadi monster yang mengoceh?" Seperti kutipan di atas, Amstrong tidak menyalahkan faktor intrinsik agama-agama, faktor ekstrinsiklah yang memicu kekerasan atas nama agama. Ekstrinsik yang mana lagi? Sekularisme.
Banyak kaum agama yang marah, bingung dan tidak siap terhadap proyek sekularisasi, dan dengan mudah menyalahkan penguasa bahkan menyalahkan kaum nasionalis. Padahal sekularisasi adalah buntut dari kemajuan teknologi juga. Amstrong menulis: "Agama diasingkan dari institusi sosial dan politik; orang-orang yang setia, yang membela diri dalam masalah-masalah keyakinan yang paling dalam, menggunakan metode apa saja yang siap digunakan untuk memerangi kekuatan sekuler yang antagonistic." Armstrong menerapkan analisis ini, dengan gelisah, terhadap serangan al-Qaeda dan 9/11, menunjuk pada kompleks faktor politik di balik kekejaman sementara juga menekankan pentingnya penghinaan Amerika terhadap Islam di Timur Tengah."
Model beragama ala Nahdlatul Ulama (NU) mungkin pantas untuk dicontoh. Sepanjang yang saya tahu, walupun NU muncul dari kampung, ia tidak gagap menghadapi modernitas, berani berselancar di tengah arus sekularisasi, walaupun Ketua Umum-nya selalu kena fitnah: dituduh liberal, sekuler, syiah dan seterusnya. Fans boy NU ada dimana-mana, dari Presiden, teknokrat, ahli Iptek hingga pengemis. Menyelamatkan Indonesia, harus dimulai dengan memperkuat NU.
Selebihnya, kerja berat bagi Pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H