Wacana IN tak lepas dari pertanyaan mendasar, bisakah antara agama (baca : islam) dan budaya bersinergi? Sepanjang yang saya tahu, setidaknya di Indonesia, tidak ada yang mengatakan tidak bisa. Artinya bisa bersinergi. Namun sejauh apa bisa bersinergi itu? Disinilah problemnya. Pendapat pertama dari golongan yang menamakan diri salafi. Pokok ajaran dari ideologi dasar salafi adalah bahwa Islam telah sempurna dan selesai pada waktu masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, oleh karena itu tidak dikehendaki adanya inovasi yang telah ditambahkan pada abad nanti karena pengaruh adat dan budaya. Paham ideologi Salafi berusaha untuk menghidupkan kembali praktik Islam yang lebih mirip dengan agama saat Nabi Muhammad pertama kali berdakwah. Karena mengacu pada masa lalu, maka mau tidak mau, kaum salafi akan mengacu pada warisan masa lalu, yaitu teks, sedangkan ijtihad di era kontemporer, walau diakui, namun selalu dianggap problematis.
Perjuangan kelompok ini adalah untuk memurnikan islam dari “kekotoran” yang ditimbulkan oleh adat dan kebiasaan lokal, yang mereka kenal dengan bid’ah dan khurafat. Perjuangan mereka begitu intens, sehingga seringkali berselisih dengan sesama muslim. Islam Nusantara dikhawatirkan akan melanggengkan bid’ah dan khurafat.
Dipihak lain, pihak kedua, kita mengenal golongan islam yang lebih adaftif terhadap budaya, yang di Indonesia direpresentasikan dalam jamaah Nahdlatul Ulama dan kaum pendukungnya, seperti kaum islam nominal (abangan), intelektual, liberal dan bahkan non muslim. Organisasi yang lain seperti Muhammadiyah, walau dengan ekspresi yang berbeda, mampu bersinergi dengan budaya lokal, sejauh batasan ideologis organisasi ini mampu menampungnya. Juga ada kelompok Syiah dan Sufi, dua musuh ideologis salafi, yang tentunya telah mengembangkan terma-terma ideologis yang spesifiks, bahkan sangat lokal dan personal.
Maka pertanyaan yang lebih adil adalah, jikapun agama dan budaya bisa dan boleh bersinergi, sejauh apakah sinergi itu? NU melangkah jauh dan mengakui bahwa kebudayaan dan adat istiadat yang baik dan telah mapan di masyarakat dapat diterima sebagai sumber hukum islam yang otentik, disamping quran, hadits dan ijma (konsensus ulama). Maka, tidak ada halangan ideologis apapun bagi NU untuk menerima tradisi lama yang telah eksis di Nusantara semisal upacara nyadran, peseujuk, ruwatan, nujuh bulanan, ruwahan, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran islam dan “isinya” telah diislamkan. Ajaran Islam berperan sebagai isi, sedangkan kebudayaan adalah wadahnya. Contoh yang masyur adalah upacara kenduri; kenduri adalah wadah sedangkan doa-doa (isi) nya sudah sepenuhnya islam, setidaknya tidak bertentangan dengan syariat islam.
Dalam bidang politikpun NU telah melangkah lebih jauh, bahwa NKRI dan nasionalisme adalah otentik. Dengan demikian ide-ide islam transnasional semacam pendirian negara islam atau khilafah yang digagas kaum islamis seperti ikhwanul muslimin atau HTI ditolak oleh NU, dengan argumen bahwa quran dan hadist tidak memberi perintah yang jelas tentang bentuk negara, toh ide negara islam dan khilafah terbukti mengancam disintegrasi bangsa. Bahkan ide formalisasi syariah islam (seperti menghidupkan kembali tujuh kata Piagam Jakarta) juga dianggap tidak perlu oleh NU.
Mengacu pada pendapat diatas, Penulis berkeyakinan bahwa ide IN bukan hanya ide yang otentik dan sah menurut timbangan syariat islam, justru dalam kasus umat islam Indonesia ide ini merupakan keharusan; satu dan lain hal untuk memenuhi tuntutan fundamental dalam al-qur’an bahwa umat islam hendaknya menjadi rahmat bagi seluruh alam, yang di era modern, sejauh ini, telah gagal diemban oleh pusat ortodoksi islam di Timur Tengah. Saatnya umat islam Indonesia tampil. Wallahualam.
oleh : margono dwi susilo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H