saat kau baca puisi ini, aku sudah mati
berkalang tanah terhimpit bumi
dicabik pesta cacing yang rakus lapar,
dan biarlah tubuhku lesap oleh nafsu
--
haruskah kukisahkan kenapa aku
sangat mencintai kematian itu?
--
kita sudah cukup waktu terbahak
dalam hidup yang palsu serta penuh muslihat
berbait-bait dan paragrap pencitraan kita bangun
berbotol-botol darah dan airmata orang polos kita reguk
--
kini semua tiba-tiba hampa
aku berdiri gamang di ruang kosong
tercekik sajak para pemabuk kekuasaan
terlindas gelombang nafsu angkara kerakusan
--
kini, kemana kakiku mesti melangkah?
pertanyaan konyol selalu keluar dari mulut bodoh
ah, aku gagal merevolusi nurani sendiri
sungguh menyedihkan!
aku muak jadi pengecut!
--
maka ijinkan aku mati ditimbun kata-kata
yang letih merangkai waktu
kini biarlah aku tenang menikmati kematian
dikubur kalimat-kalimat beku
--
jika kau baca tulisan terakhirku ini,
ketahuilah aku sudah mati
tercekik rasa jenuh mengenakan topeng
penutup aib diri
--
jangan ingat aku, anggap tak pernah bertemu
salam seribu maki!
Tangerang, 8 Mei 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H