Nomor 91 Agung Alone
Aku tumbuh dalam kasih ibu yang merangkap ayahku. Kucuran doa dan nasehatnya bagai air susu membangun jaringan sel tubuhku. Waktu demi waktu terus mendaur ulang kesabaran membesarkanku. Tak pernah kutemukannya melotot. Atau penggal kata amarah. Ibu adalah samudera tenang sekaligus menghanyutkan. Dalam dekapnya aku tak pernah sedih, kuatir, ataupun takut.
Sewaktu TK, ibulah guruku sejati. Ibu guru Linda hebat mengajariku baca tulis di kelas tapi tak sehebat ibu. Tulisan ibu tegas dan jelas, gampang kueja dan kusalin. Nyanyian ibu guru Kristi kalah dibanding lantunan merdu ibu. Ibu bernyanyi dengan hati. Mataku berkaca-kaca bila menyanyikan lagu kebangsaan di depan ibu. Lagu favorit kami sampai kini adalah Ibu Pertiwi.
Bila lagu itu berkumandang, hatiku trenyuh. Bayangan ibu menjelma. Itulah lagu paling istimewa. Nadanya senantiasa berputar dalam hatiku. Saat pergi sekolah maupun pulang. Waktu aku TK hingga SMP. Entahlah, hatiku suka bersenandung. Padahal lagu itu selalu menyelipkan kedukaan yang tahu-tahu menyelinap dan bersarang di hatiku. Tapi tak pernah lama. Sebelum aku berlarut sedih, rasa riang pun berdendang. Seolah terbit asa baru dari rasa ngelangut itu, berganti riang. Keyakini ibu pertiwi ini tempatnya bersemayam ruh-ruh kebahagiaan. Aku merasa mengangkasa jika bernyanyi bersama ibu. Aku bangga tenggelam pada cinta tiada tara ibu dalam samudera jiwa yang tenang.
Seluruh hidupnya tercurah untukku. Tertutup ruang hatinya bagi orang lain. Enggan mencari pengganti ayahku. Aku beranjak remaja, tapi kasih ibu tak beralih. Padahal aku rela ibu berbagi sayang untuk calon ayah tiriku. Tapi senyum mawar ibu selalu menampik.
“Kita ini wanita, bukan kumbang yang mudah hinggap ke bunga lain,” katanya.
Aku mengerti maksud ibu. Aku bahkan dapat menangkap gelagat laki-laki desa yang memikat ibu. Naluri kewanitaanku dapat menilai mana pria serius dan hanya iseng. Aku kira Sam, Dodi, dan Irzad, ialah tipe pria bertanggungjawab untuk membina rumah tangga. Tapi semua belum berkenan di hati ibu.
“Ibu akan bangga mengantarmu hingga sarjana,” ujarnya suatu hari. Hatiku berdesir haru.
Ibu pasti punya alasan kenapa pria yang mendekatinya tak direspon. Biar saja menjadi rahasianya. Ibu sibuk dengan usahanya. Bekerja keras bersama puluhan karyawannya. Tangan mereka tidak jauh dari kain, canting, lilin malam, pewarna, dan tungku pemanas.
**
“Oh, ini yang disebut canting?”
Aku senyum mengangguk. Aku diminta ibu menyambut tamu dari kota. Rombongan siswa SMU yang mengunjungi rumahku.
“Canting ini berujung satu. Biasa untuk membuat pola garis ataupun lekukan,” kataku menjelaskan. “Sedangkan canting dengan beberapa ujung itu berfungsi membuat titik dalam satu kali sentuhan,” telunjukku mengarah beberapa canting di tangan Bu Sur, asisten ibuku. Berpasang mata remaja menimang-nimang canting yang disodorkan Bu Sur.
Mungkin aku mewarisi bakat ibu. Kalau ngomong seluk-beluk batik tulis mulutku lincah seperti mengunyah permen karet. Apa yang mereka ingin tahu kujelaskan dengan gamblang. Tangan Bu Sur cekatan melengkapi perkataanku. Kusapu pandang wajah ranum mulus yang sepertinya tak pernah disengat matahari itu. Semuanya serius. Guru pembimbing mematung di sisiku. Kunjungan 50 menit itu berlalu dengan observasi alat-alat dan bahan kain batik setengah jadi, serta visit ke gudang.
Aku biasa bersama karyawan ibu jika libur sekolah. Ibu memberi tugas khusus pada Bu Sur agar membimbingku. Ia sabar menjelaskan semuanya. Hingga aku paham segala urusan batik tulis, karena Bu Sur ibarat buku berjalan. Tanya sejarah batik, kekhasan tiap daerah, filosofi dan alat membatik, sampai proses membuatnya, dijawab lancer di luar kepala. Tapi dari semua benda, lilin malam paling menarik perhatianku.
Mataku takjub mengagumi lilin yang dipanaskan. Lilin kuasa menahan warna tak masuk dalam serat kain bagian yang tidak dikehendaki. Benda bernama lilin menyeret anganku pada sosok ibu. Ibu seperti lilin, mampu meredam gejolak rasa tanpa larut pada kesepian. Sanggup menyimpan beragam rasa yang berebut perhatian dalam belukar persoalan.
Bagiku ibu juga seperti lilin dalam artian pelita. Mencahayai perempuan desa keluar dari lilitan ekonomi. Kini mereka merasa lebih berarti. Menyulami penghasilan suami berkat pemberdayaan usaha ibu. Raut sumringah terbit tiap hari.
Ibu kebangganku. Kebanggan ibu-ibu desaku. Dan rasa bangga itu kian menyeruak kalbu tiapkali ibu mengakui aku mirip sekali dirinya. Aku ingin seperti ibu. Mampukah aku?
“Hey!” suara Bu Sur membuyarkanku. Kurasakan tangan lembutnya menepuk bahuku. “Angkat lilinnya!”
Aku sadar Bu Sur seringkali memperlakukanku seperti itu jika aku berlama-lama mematung di depan lilin.
“Dasar gadis lilin!“ godanya selalu. Aku tersipu. Entah mengapa aku suka julukan itu. Apakah karena ibuku seperti lilin?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H