Ini pengalaman kali pertama Kompasianer melihat dari dekat upacara Ngaben yang langsung melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu). Menurut sumber WIKIPEDIA, Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya, upacara yang ditunjukkan (Kompasianer : ditujukan) kepada Leluhur. Secara etimologis, kata Ngaben merupakan pergeseran dari kata "Ngapen" (yang melibatkan api), baik api dalam arti sesungguhnya maupun abstrak, api dari puja mantra pendeta yang memimpin upacara. Lebih lanjut diterangkan, ada beberapa bentuk upacara Ngaben, yakni : 1) Ngaben Sawa Wedana, seperti yang Kompasianer lihat kali ini 2) Ngaben Asti Wedana, yang melibatkan kerangka jenazah yang telah pernah dikubur 3) Swasta, tanpa melibatkan jenazah maupun kerangka mayat.
Senin malam, 13 April 2015, sekitar pukul 20.30 waktu setempat Kompasianer bersama rombongan saudara/kerabat (sekitar 26 orang naik bus) dari Yogya tiba di rumah duka di Puri Kediri, Tabanan; kurang lebih satu kilometer ke arah belakang (selatan?) patung SOEKARNO di perempatan kota. Turun dari bus, kami disambut keluarga besar I Gusti Ngurah Oka dengan penuh kehangatan. Kami memasuki Puri Kediri langsung menuju rumah duka. Di salah satu sudut pendapa/ruangan kami lihat jenazah almarhum bersemayam lengkap dengan foto, hiasan, sesaji, dan makanan/minuman kesukaan Beliau ketika masih hidup. Keluarga dan masyarakat setempat selama jenazah belum dibakar masih memperlakukannya seperti masih hidup. Di sebelah kanan (utara) jenazah berbatasan dengan jalan/gang rumah, dibacakan buku suci berhuruf Bali (Jawa: Hanacaraka) terus-menerus bergantian sepanjang malam oleh beberapa orang yang duduk bersila di bawah lampu temaram. Acara ini dikenal dengan nama "pesantian". Sementara itu para pelayat lokal setia menunggu jenazah dengan asyik bermain kartu di atas meja dan kursi masing-masing grup.
Saling sapa dan silaturahmi terjalin antara keluarga almarhum I Gusti Ngurah Oka dan keluarga/saudara /kerabat dekat dari Yogya berlangsung hingga larut malam. Meski rombongan dari Yogya hanya sebagian saja yang hadir (perwakilan" Trah") pada kesempatan yang langka tersebut, karena berbagai keterbatasan, tetapi keakraban/persaudaraan tetap terjaga, apalagi bisa ketemu dan berbincang-bincang langsung dengan isteri almarhum, Ny. Daljinah beserta keluarga besarnya di Tabanan. Kompasianer dan rombongan akhirnya bermalam di rumah salah satu putra almarhum (Bapak Raka) yang terletak beberapa ratus meter dari rumah duka ke arah belakang (barat?).
Selasa pagi, 14 April 2015, Kompasianer melihat-lihat persiapan tata upacara Ngaben. Di pintu gerbang Puri Kediri, Sang Pendeta/Brahmana dengan baju kebesarannya duduk di atas panggung kecil, penuh sesajian dan hiasan, berdoa membacakan mantra-mantra. Beliau lalu mengacung-acungkan dupa dan memercikkan air suci  ke sekitarnya. Demikian pula para pengiring yang ber-"udeng" dan berseragam kaos putih bertuliskan "Karya Palebon" di bagian belakangnya ramai-ramai menengadahkan tangan dan menghiasi/membasuh muka mereka dengan air bunga. Mendekati pukul 10.00 waktu setempat, segala peralatan peralatan/perlengkapan upacara mulai dikeluarkan dari rumah duka, dan yang terakhir adalah jenazah yang terbungkus rapat diangkat orang-orang dari dalam tanpa keranda.
Selanjutnya jenazah dimasukkan ke dalam "wadah" di anjungan tinggi , didampingi anak cucunya yang naik ke atas. Biasanya semakin tinggi letak "wadah" (anjungan)-nya, semakin tinggi pula strata (kedudukan) almarhum di dalam masyarakat Bali. Sehingga setiap anjungan menyangkut saluran kabel listrik, harus disiapkan bambu pengungkitnya (ingat, pada saat upacara Ngaben almarhum Ir. Tjokorda dulu bahkan kabel listrik harus diputus, karena saking tingginya anjungan). Bersama "Lembu" (lembu-lembuan yang kerangkanya berasal dari kerangka bambu, kepala dan kaki-kakinya dari kayu)-- tempat membakar jenazah, terpisah dengan jenazah diarak dari halaman rumah duka menuju lapangan -- tempat pembakaran/upacara Ngaben yang berjarak kurang lebihsatu setengah kilometer dari rumah duka. Lembu dinaiki salah satu anggota keluarga, pada awal keberangkatan diputar tiga kali berlawanan arah jarum jam, dan diulang diperempatan, dan diulangi lagi ketika memasuki lapangan.
Di lapangan, rumah tempat pembakaran sudah dipersiapkan di bagian tengah/timur lapangan. Di sekeliling kotak api pembakaran, ditaruh beberapa batang pisang agar api terlokalisir atau tidak menjalar kemana-mana. Lembu ditaruh di rumah itu menghadap ke timur, tali-tali ikatannya dilepas satu persatu, bagian punggungnya dibuka. Kemudian jenazah dimasukkan ke dalam punggung Lembu yang terbuka. Jenazah dilepas satu persatu bungkusannya, hingga telanjang bulat, kecuali alat kelaminnya tertutup oleh kedua tangannya. Jenazah masih disucikan lagi dengan air pancoran dalam kendi, kemudian kendi dijatuhkan ke tanah hingga pecah berkeping-keping. Di atas jenazah kemudian ditutupi beberapa kain. Bagian punngung Lembu ditutupkan kembali, sehingga jenazah siap untuk dibakar dalam keadaan tertutup. Tidak langsung dibakar, ternyata masih ada prosesi pengambilan api yang dipimpin oleh seorang wanita. Api diambilkan dari beberapa pria pengiring berseragam kaos putih. Setelah itu api disorongkan ksudah e bawah jenazah bersama beberapa bambu kecil sebagai langkah awal pembakaran. Nyala ap i diteruskan dengan semprotan bahan bakar minyak dari mesin kompresor yang ditangani oleh seorang petugas khusus. Tidak sampai berjam-jam jenazah sudah jatuh ke bawah, dan tinggal menunggu sampai selesai dan dingin untuk diambil/diseleksi abunya. Selanjutnya abu dan tulang-tulangnya akan dimasukkan ke dalam wadah tertentu dan dilarung ke laut. Sayang, Kompasianer dan rombongan tidak bisa mengikuti sampai akhir prosesi Ngaben (melarung ke laut), karena keterbatasan waktu dan hendak segera kembali ke Yogya.
Akhirnya, Kompasianer beranggapan bahwa tulisan laporan perjalanan ini barangkali kurang pas pemahahan dan penjelasannya menurut pandangan Umat Hindu di Bali, kami menerima masukan, kritik, saran, atau tambahan informasi yang lebih lengkap. Dan yang paling penting dalam sisi pandangan Kompasianer, adalah keikhlasan menerima semua yang hilang dari kita, termasuk kehilangan orang yang kita cintai, tanpa diiringi isak-tangis, tapi diiringi gamelan Bali yang membahana dalam arak-arakan menuju tempat pembakaran.
Foto : Dokumentasi Pribadi/Kompasianer
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H