Foto diambil oleh Taslima Akhter
Dominasi kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang diterima dan diimplementasikan secara global saat ini telah membuahkan fenomena economically constructed culture, sehingga mengkonstruksikan budaya konsumerisme masyarakat sebagai sesuatu hal yang lumrah. Masyarakat memiliki tendensi untuk membeli barang-barang yang mereka tidak butuhkan, terutama dalam sektor pakaian yang terus mengalami pergantian tren dan gaya.
Akan tetapi, budaya konsumerisme terhadap aspek pakaian di masa kini banyak dikritisi oleh para aktivis buruh sebagai suatu fenomena “fast fashion”,di mana tren pakaian yang terus berganti memicu masyarakat untuk lebih konsumtif dan terus membeli pakaian, meski di saat mereka tidak membutuhkannya sekalipun. Mayoritas pola konsumerisme para pecinta gaya pakaian pun hanya mementingkan tren dan harga pakaian yang semurah mungkin. Padahal bila harga suatu pakaian semakin murah, maka semakin murah pula upah yang dibayarkan kepada buruh industri pakaian yang memproduksinya. Akan tetapi ironisnya, aspek-aspek fundamental seperti kesejahteraan buruh yang memproduksi pakaian-pakaian tersebut diabaikan dan bukanlah faktor determinan penting masyarakat dalam membeli pakaian.
Berbicara mengenai kasus kesejahteraan buruh pakaian, Bangladesh merupakan salah satu dari banyak negara yang cukup dikenal dengan kekurangan kesejahteraan buruh pakaiannya. Rendahnya kesejahteraan buruh pakaian Bangladesh sejatinya merupakan paradoks, mengingat Bangladesh memiliki penghasilan yang sangat tinggi dari bidang industri pakaian. Sektor garmen adalah lahan kehidupan bagi masyarakat Bangladesh, semenjak beralihnya lahan-lahan pertanian menjadi industrialisasi pabrik-pabrik garmen pakaian di negara yang dihuni oleh kurang lebih 168 juta penduduk ini. Bangladesh merupakan industri pakaian terbesar kedua di dunia, yang menyuplai merek-merek pakaian perusahaan multi-nasional barat. Industri garmen Bangladesh selama ini telah menghasilkan produk-produk pakaian yang diekspor ke negara di berbagai belahan dunia.
Tidak heran, industri garmen merupakan penghasil terbesar ekspor Bangladesh yang setiap tahunnya yang bernilai sekitar Rp 194 triliun dan merupakan 79 persen dari pendapatan negara tersebut. Lebih dari 3,2 juta orang bekerja di sektor ini dalam 5000 pabrik garmen yang tersebar di seluruh daerah Bangladesh. Bahkan industri pakaian Bangladesh disebut-sebut sebagai ‘contoh sukses dalam konteks pemberdayaan perempuan,’ karena sekitar 80 persen pekerja industri pakaian di Bangladesh adalah perempuan.
Pertumbuhan ekonomi Bangladesh karena prestasinya dalam bidang industri pakaian membuat Bangladesh digolongkan sebagai salah satu dari contoh negara berkembang dengan keberhasilan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) nomor 1, yaitu penghapusan kemiskinan ekstrim yang paling sukses di dunia.
Paradoks Di Balik Pertumbuhan Ekonomi Berbasiskan Industri Pakaian
Umumnya kita memiliki asumsi kapitalistis bahwa bila sebuah negara mengalami pertumbuhan ekonomi, maka secara tidak langsung kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara individual dalam berbagai bidang pekerjaan pun akan turut terakomodir dan terpenuhi secara ideal. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah harus melakukan liberalisasi ekonomi agar mempermudah masuknya arus investasi asing yang meningkatkan produktivitas ekonomi negara. Jumlah masyarakat yang terjebak kemiskinan pun akan semakin menurun, dengan banyaknya arus investasi asing dalam bentuk FDI (Foreign Direct Investment).
Tetapi bila ambisi pemerintah Bangladesh hanya terbatas pada pertumbuhan ekonomi untuk menghapuskan kemiskinan ekstrim saja, maka sesungguhnya ambisi pertumbuhan ekonomi ini telah mengabaikan aspek-aspek lain yang merepresentasikan keamanan manusia/human security dalam konteks kesejahteraan para buruh industri pakaian yang sesungguhnya memiliki peranan besar dalam keberhasilan ekonomi Bangladesh.