Mohon tunggu...
Margaretha Della
Margaretha Della Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

jangan takut gagal jika belum pernah mencoba

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Book (Refleksi Sosiologi Hukum)

28 September 2024   12:14 Diperbarui: 28 September 2024   12:17 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam BAB Ke-1 buku ini membahas tentang konsep baru negara hukum di Indonesia. Bab pertama membahas kasus-kasus pengadilan yang belum terselesaikian di Indonesia, yang menyatakan bahwa data statistik kejahatan BPS menyajikan fakta-fakta dan kasus-kasus pengadilan yang terjadi di Indonesia dan jenisnya. Dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia dan jenisnya. Dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, banyak kasus yang belum terselesaikan melalui hukum. Ada banyak alasan mengapa persidangan tersebut terjadi, seperti : 1) alat bukti yang tidak mencukupi, 2) Berakhirnya waktu penyidikan, 3) timbul pertimbangan-pertimbangan lain yang dapat diatasi dari segi kemanusiaan dan hukum. Fakata-fakta tersebut tidak bisa dibaca secara langsung oleh masyarakat, karena kebenaran sudah ada di depan mata, melainkan karena campur tangan banyak hal di luar hukum yang menyembunyikan jalan hukum menuju nilai keadilan menjadi buram.

  • Indonesia juga mencatat sejarah bagaimana orang miskin menggapai keadilan. Kita lihat dalam fakta dilapangan seperti kasus gugat-menggugat antaranggota keluarga. Belakangan ini, gugat-menggugat dalam keluarga di Indonesia sudah menjadi hal biasa. Beberapa kasus yang terjadi, misalnya: Nenek Fatimah digugat Rp1 miliar oleh anak-mantu; anak menggugat ibu kandung di Garut: anak gugat orang tua dan menguasai rumah warisan di Malang: anak gugat ibu kandungnya dan rebutan rumah tinggal di Bogor, rebutan tanah, ibu di Jember dipolisikan anak kandungnya; dan kasus warisan di NTB berujung saling lapor ibu dan anak.
  •  Dengan hal ini, negara Jepang adalah salah satu negara yang masih tetap mempertahankan Japanese Twist. Japanese Twist artinya kekhususan Jepang dalam menghadapi hukum, yaitu dengan cara meminggirkan keunggulan atau kedaulatan undang-undang (supremacy of law) dan mengutamakan ukuran moral tertentu. Permintaan maaf dan budaya malu lebih dikedepankan dibandingkan ketentuan undang-undang saja.
  • Sub bab Kedua ini membahas mengenai Kejahatan dan Tingginya Angka Perceraian di Masa Pandemi Covid-19, Sepanjang tiga bulan pertama masa pandemi Covid-19 menyebar di Indonesia, angka kriminalitas meningkat sebesar 19,72%, sedangkan di pekan kedua bulan Juni 2020 sudah naik menjadi 38,45%. Kejahatan jalanan (street crime) seperti perampokan atau pencurian dengan pemberatan, begal, dan pencurian mini market, atau terjadinya penimbunan sembako. Adapun kejahatan lainnya di era pandemi ini adalah kejahatan siber, seperti penipuan daring disinyalir akan meningkat. Jenis kejahatan yang mengalami peningkatan, di antaranya penyebaran berita bohong atau hoaks, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan kejahatan narkoba.
  • Sub bab Ketiga ini mengkaji persoalan-persoalan yang berkatainn dengan administrasi hukum, dan dinamika dunia keilmuan serta permasalahan yang dihadapi dengan gagasan-gagasan hukum sebelumnya. Pertama, keraguan terhadap hakikat ilmiah hukum direduksi, sehingga hukum dapat dipahami sebegai suatu ilmu. Dalam teori hukum, merupakan penolakan terhadap paradigma dalam air pemikiran hukum sebelumnya.

Soerjono Soekanto memberikan beberapa catatan terhadap hasil pemikirannya, yaitu sebagai berikut:

  • Kesimpulan sementara bahwa masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin memengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti penting yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
  • Di antara semua faktor tersebut, maka faktor penegak hukum menempati titik paling sentral. Hal itu disebabkan karena undang-undang disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilaksanakan oleh penegak hukum, dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat luas.

Su bab Keempat ini membahas tentang Sejarah Pembentukan Pola Pikir Penegakan Hukum: Perdebatan Yuridis Normatif dan Yuridis Sosiologis yang Tidak Pernah Berakhir. Paradigma yuridis normatif berpandangan bahwa hukum tidak berkaitan dengan penilaian baik-buruk, sebab penilaian ini berada di luar bidang hukum. Kaidah moral secara yuridis tidak penting bagi hukum. Hakikat hukum semata- mata adalah perintah dan kurang atau tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat Sebelum beralih dari paradigma yuridis normatif ke paradigma yuridis sosiologis, terdapat masa transisi yang dilewati Munculnya paradigma yuridis sosiologis dilandasi bahwa suatu sistem hukum tidak akan bertahan hidup lama jika tidak mendapat dukungan sosial yang luas Sistem sosial yang terbuka dalam masyarakat memberikan tempat.

Munculnya paradigma yuridis sosiologis dilandasi bahwa suatu sistem hukum tidak akan bertahan hidup lama jika tidak mendapat dukungan sosial yang luas Sistem sosial yang terbuka dalam masyarakat memberikan tempat bagi tumbuh dan berkembangnya hukum yang hidup dalam masyarakat. Memisahkan hukum dengan moral seperti rasa keadilan tidak dapat dianut lagi, karena rasa keadilan tersebut merupakan cerminan jiwa kehidupan masyarakat dan aspek penegakan hukum yang termuat dalam kodifikasi, tidak akan berarti tanpa adanya dukungan moralitas.

Sub bab kelima ini membahas mengenai Paradigma Baru Penegakan Hukum di Indonesia. Pembaruan penegakan hukum di Indonesia adalah perubahan sejarah yang menuntut setiap individu melakukan pemahaman dan perenungan secara bersama-sama, untuk mengingat kembali jasa para pejuang dan tokoh hukum dalam percaturan hukum nasional dan internasional. Menjalankan sebuah hukum tidak hanya semata-mata tekstual perundang-undangan, namun harus dengan determinasi, empati, dedikasi, dan komitmen terhadap penderitaan bangsa ini dalam mencari jalan keluar lain guna menyejahterakan rakyat sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh UUD 1945.

Penegakan hukum selama ini dilihat dalam dunia pendidikan, riset, maupun kajian-kajian keilmuan hukum pada tataran praktis atau pelaksanaan saja. Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena secara realitas, banyak fakta kasus yang terjadi dan kemudian disimpulkan banyak ketidakadilan. Fakta kasus adalah hasil akhir dari suatu proses yang panjang sampai pada penilaian ketidakadilan tersebut oleh para pihak atau masyarakat. Mindset atau pola pikir inilah yang harus diubah pada siapa saja yang berkecimpung dengan hukum.

Perkembangan konsep penegakan hukum di Indonesia saat ini di dalam realita sudah diperluas maknanya, bahwa penegakan hukum tersebut sudah mulai diakui keberadaannya sejak ide atau gagasan hukum tersebut muncul dan selanjutnya tertuang dalam formulasi atau rumusan hukum sampai dimensi pelaksanaan aturan di masyarakat dalam kerangka menangani, mengatur, dan menyelesaikan perselisihan, sengketa, perkara, dan kasus hukum. Pergeseran konsep penegakan hukum selama ini masih didominasi oleh paradigma yang memandang hukum sebagai sebuah sistem, yaitu paradigma yang menganggap hukum sebagai suatu keteraturan (order).

Menurut Charles Sampford dalam bukunya yang berjudul The Disorder of Law: A Critique of Legal Theory (1989), paradigma hukum sebagai suatu sistem bertumpu pada tiga macam teori sistem hukum yang dianggap sudah konvensional, yaitu: 1) teori sistem hukum yang berbasis sumber (source) based), yakni teori-teori hukum positivistis; 2) teori sistem hukum yang berbasis isi (content based), yakni teori-teori hukum alam (irasional, rasional, dan modern); 3) teori sistem hukum yang berbasis fungsi (function based), yakni teori-teori sosiologis.

Tujuan dari hukum adalah mewujudkan keadilan. Proses mewujudkan keadilan adalah melalui penegakan hukum. Penegakan hukum yang selama ini diajarkan, dikaji, dan dianalisis baik itu di dunia akademik maupun praktisi hanya terfokus pada aspek kasus hukum, atau dengan kata lain pada proses pelaksanaan hukum. Hal inilah yang perlu dilakukan perubahan paradigma bahwa penegakan hukum tersebut dimulai dari niat (nawaitu) atau ide hukum, berlanjut ke perumusan hukum, dan yang terakhir adalah pelaksanaan hukum. Dengan demikian, cara pandang seperti ini akan melihat penegakan hukum secara lebih luas dan mendalam.

Dalam BAB Ke-II dalam buku ini membahas tentang Ruang Lingkup Sosisologi Hukum, pada Subbab Pertama Membahas mengenai Bunga Rampai Keilmuan Hukum. Pembelajaran ilmu hukum atau ilmu kesyari'ahan lebih dititikberatkan pada sifat preskriptifnya, yaitu memberikan pengetahuan tentang apa hukumnya bagi suatu kejadian tertentu serta bagaimana mengoperasikannya. Menen- tukan apa yang seyogyanya atau seharusnya (das sollen) dilakukan dalam meng- hadapi kenyataan (das sein). Ciri ini merupakan konsekuensi kesejarahan dalam ilmu hukum yang banyak dipengaruhi oleh positivisme hukum atau lebih dikenal dengan sifat kenormatifan dari hukum yang dalam metodologi pene- Itian hukum menimbulkan kubu penelitian hukum normatif.

Sejalan dengan perkembangan zaman, khususnya mempelajari dari runtutan sejarah, akan terdapat perkembangan yang memberikan arti pada perjalanan ilmu hukum. Baik itu pengaruh positif maupun negatif dalam kacamata normatif. Sedikit banyak pula terdapat sumbangan pemikiran dari bidang-bidang di luar ilmu hukum yang banyak membantu proses analisis yang dilakukan agar sebuah fenomena sosial tentang hukum dapat dijelaskan senyatanya. Bidang-bidang di luar ilmu hukum inilah yang disebut dengan ilmu bantu dalam ilmu hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun