transaksi keuangan dalam investigasi kejahatan perdagangan manusia terkait eksploitasi seksual (sex trafficking)
Setiap tahunnya, dari hampir 25 juta orang yang terperangkap dalam perdagangan manusia (human trafficking), ada sekitar sekitar 4 juta anak, perempuan dan laki-laki menjadi korban perdagangan manusia terkait eksploitasi seks (sex trafficking). Data dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC, 2020) menunjukkan bahwa korban perdagangan manusia terkait eksploitasi seks korbannya mayoritas adalah perempuan dewasa (67%), lalu diikuti dengan anak perempuan di bawah umur (25%), dan laki-laki dewasa (5%), dan anak laki-laki di bawah umur (3%). Dan menurut International Labour Organization (ILO, 2018 dalam Kelly, 2019), sebagian besar korban berada di negara Asia dan Pasifik (70%), dan sisanya menyebar di Eropa (14%) dan di benua Amerika (4%).
Secara ekonomi, perdagangan manusia dan eksploitasi seks termasuk bisnis ilegal dengan keuntungan sangat besar, ILO mencatat keuntungan yang didapat sekitar USD 99 milyar (bisnis ilegal besar lainnya: penjualan nakotika, tenaga kerja illegal dan penjualan organ manusia).
Namun yang menyedihkan adalah, penanganan hukum kejahatan eksploitasi seks sangatlah rendah (UNODC, 2020). Bahkan di beberapa negara, pelaku dan kaki tangan kejahatan ini bisa sangat mudah beroperasi mencari korban dan melanggengkan bisnis ilegalnya.
Indonesia sebagai salah satu negara di Asia-Pasifik, terkenal sebagai negara pemasok/sumber, tempat transit, dan juga tujuan dari korban perdagangan manusia. Indonesia juga masuk dalam daftar Global Slavery Index (GSI, 2018) sebagai salah satu 10 besar negara dengan jumlah korban perdagangan manusia terbesar di dunia - Indonesia memiliki 1.2 juta korban yang terdata (Enos, 2014). Indonesia juga tercatat sebagai negara yang belum melakukan aksi signifikan untuk menghentikan perdagangan manusia di wilayahnya.
Siapa yang terlibat?
Kejahatan perdagangan manusia tidak hanya melibatkan pelaku dan korban. Dalam perdangan manusia, secara khas akan terlibat di dalamnya perantara (intermediaries).
Perantara ini bisa terdiri dari: konsumen produk/layanan, mucikari, narahubung/makelar, remaja yang menjual teman dan atau dirinya sendiri, orang tua yang menjual anak/keluarganya, pelaksana dan investor bisnis eksploitasi seksual, orang yang membantu transportasi korban dan konsumen, orang yang merekam atau menjual produk eksploitasi seksual (bisa berupa film, web-cam live/streaming), geng/kelompok kejahatan yang mau mengambil keuntungan dari bisnis eksploitasi seksual, orang yang bekerja mengamankan bisnis eksploitasi seksual (bisa jadi adalah oknum pemerintahan/penegak hukum), individu atau perusahaan recruiter yang mencari calon korban/pemasok, bahkan juga warga negara lain atau jejaring internasional yang terkait dengan tindak kejahatan ini.
Melihat betapa banyaknya yang terlibat dalam kejahatan ini, maka penting untuk memetakan pihak-pihak yang terlibat agar semua dapat diberikan konsekuensi hukum yang sesuai.
Untuk menghentikan kejahatan eksploitasi seksual diperlukan mekanisme penanganan kejahatan terstruktur (specialized anti-organized crime mechanism). Dimana upaya penanganan bukan hanya ditujukan penyelesaian kasus per kasus namun menyasar memberangus sampai ke akar dan jejaring bisnis eksploitasi seksual (UNODC, 2020).
Mengapa penanganan hukum rendah di Indonesia?
Salah satu penyebab kesulitan pengungkapan/penyelesaian kejahatan eksploitasi seksual di Indonesia adalah karena pelaku dan perantaranya adalah anggota keluarga korban sendiri.
Dari berbagai kasus, walaupun masalah finansial sering ditemukan sebagai akar masalah, namun uang tidak selalu menjadi motivasi pelaku dan perantara yang berasal dari kalangan keluarga. Pelaku bisa saja berpikir bahwa apa yang dilakukannya hanyalah untuk membantu keluarganya, membantu korban. Mereka ingin menjadi pahlawan dengan membantu mencarikan kerja dan pemasukan finansial keluarga (Wijaya, 2020). Pada beberapa kasus, bahkan ditemukan korban meminta pelaku untuk memasukkannya dalam bisnis ilegal ini.
Kurangnya pemahaman tentang apa dan bagaimana perdagangan manusia, membuat kasus juga jarang dilaporkan dan diproses secara hukum. Bahkan beberapa keluarga berusaha menutupi kasus, misalkan: berbohong - usia anaknya yang sebenarnya masih di bawah umur dirubah seakan-akan telah melampaui usia 18 tahun agar bisa dikirim/bekerja di luar rumah. Proses penyelidikan juga terhambat, karena keluarga menyangkal atau menutupi kondisi korban. Tidak jarang, keluarga menganggap eksploitasi sebagai pekerjaan sebagai sumber penghasilan ekonomi keluarga yang harus dipertahankan. Korban justru diminta terus bekerja dan tereksploitasi.
Pada level bisnis besar, banyak orang memiliki kepentingan untuk mempertahankan perdagangan manusia tetap berlangsung, terutama pelaku dan perantara yang akan melakukan apapun untuk tetap terlindungi melakukan kejahatannya. Sebagai akibatnya, korban bisa semakin terpuruk, karena rendahnya bantuan untuk keluar dari jeratan perdagangan manusia.
Mengapa perlu melacak uang?
Dengan kesulitan penyelidikan yang biasa ditemui, maka penegak hukum perlu mencari cara efektif untuk membongkar kasus. Salah satunya adalah melacak transaksi keuangan terkait bisnis eksploitasi seksual.
Sebagai contoh, di tahun 2019, badan intelijen keuangan Australia menuntut sebuah bank di Australia untuk segera memperbaiki sistemnya yang dianggap gagal melaporkan transaksi keuangan yang telah menunjukkan indikasi kejahatan perdagangan manusia-eksploitasi seksual (Butler, 2019). Awalnya, pihak otoritas di Filipina mendeteksi pola transaksi keuangan aneh sejak tahun 2013 hingga 2019, dimana ada beberapa warga negara Australia yang mengirimkan uang dengan jumlah kecil secara berulang ke orang di Filipina, yang tidak memiliki hubungan pertemanan atau keluarga dengannya. Lebih lanjut, warga negara Australia tersebut diketahui melakukan perjalanan ke Filipina secara berkala. Hingga ditemukan, ternyata uang selama ini dikirim kepada orang di Filipina yang memiliki riwayat kejahatan perdagangan anak dan eksploitasi seksual anak (membuat show seks dengan obyek anak dan disiarkan secara live lewat internet). Dari temuan ini, intelijen keuangan Australia melakukan analisa transaksi keuangan, dan menemukan kejahatan eksploitasi seksual pada anak yang dilakukan oleh pengirim uang dari Australia dan penerima uang di Filipina. Kasus ini menunjukkan bahwa pengungkapan kasus kejahatan bisa berasal dari analisa transaksi keuangan.
Biarkan uang yang berbicara (let the money talks)
Penyelidikan di Indonesia masih sangat bergantung pada laporan dan penyidikan berdasarkan pengakuan korban dan saksi. Namun, dengan analisa transaksi keuangan, maka penyelidikan dan penyidikan bisa dimulai dari melacak aktivitas keuangan yang berindikasi kejahatan perdagangan manusia. Hal ini juga sangat membantu proses penegakan hukum, terutama jika korban atau saksi sulit dimintai keterangan. Profiling dan penggalian data dari korban dapat dilakukan setelah atau bersamaan dengan proses analisa transaksi keuangan.
Transaksi keuangan tercatat juga bisa “berbicara” tentang darimana uang berasal, ke mana uang dikirim, siapa saja yang menerima uang, bagaimana uang digunakan, dimana transaksi bisnis terjadi, dan berapa besar jejaring bisnis eksploitasi manusia ini. Beberapa indikator transaksi mencurigakan yang sering dikaitkan dengan kejahatan eksploitasi seksual, seperti:
- Adanya transaksi transfer uang berulang/berpola dalam jumlah kecil-sedang ke orang yang tidak punya hubungan khusus dengannya.
- Adanya riwayat baik pengirim atau penerima terlibat dalam kejahatan seksual/eksploitasi seksual.
- Terjadi beberapa kali perjalanan yang dilakukan pengirim ke lokasi penerima uang.
- Perjalanan dilakukan menuju negara/kota/lokasi beresiko tinggi kejahatan eksploitasi seksual/ (lihat daftar GSI).
- Bukti booking hotel, sewa transport dan jasa.
Indikator-indikator ini sebenarnya bisa mudah dimasukkan dalam sistem deteksi/screening awal kejahatan di institusi keuangan seperti bank. Selayaknya, bank dan institusi keuangan lainnya mendukung penuh upaya deteksi transaksi mencurigakan agar dapat ditindaklanjuti oleh badan intelijen keuangan dan penegak hukum.
Bisa terjadi transaksi dilakukan dengan uang cash. Namun, dengan dukungan tim penegak hukum, maka badan intelijen keuangan tetap bisa mengupayakan untuk melacak orang-orang dan transaksi yang terkait dalam bisnis-kejahatan eksploitasi seksual.
Menganalisa transaksi keuangan seperti melacak jejak-jejak kejahatan. Uang dapat berbicara tentang siapa yang terlibat. Hal ini akan sangat membantu untuk menemukan pelaku dan perantara yang terlibat dalam kejahatan perdagangan manusia.
Bagaimana masyarakat dapat membantu?
Kerjasama antara masyarakat dan pemerintah sangat penting dikembangkan dalam investigasi kejahatan perdagangan manusia.
Masyarakat dapat terlibat sebagai pelapor. Jika melihat atau memiliki kecurigaan berdasar terjadinya tindak kejahatan perdagangan manusia, maka anggota masyarakat segera melaporkannya ke penegak hukum atau badan intelijen keuangan yang bertanggungjawab atas analisa transaksi keuangan terindikasi kejahatan. Masyarakat membantu dengan memilih tidak diam ketika melihat adanya pola transaksi keuangan terindikasi kejahatan.
Selain itu, bagi anggota masyarakat yang bekerja langsung dengan korban atau pelaku kejahatan perdagangan manusia, misalkan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau pekerja sosial yang membantu rehabilitasi korban dan pelaku, bisa membantu dengan membangun pendekatan persuasif agar orang yang terlibat dalam kejahatan mau membuka informasi mengenai riwayat transaksi keuangan dalam bisnis eksploitasi tersebut.
Pekerja sosial perlu membekali diri agar mampu mendapatkan informasi penting seperti: siapa saja nama orang yang terlibat; apakah pernah menerima uang; apakah ada transaksi keuangan elektronik/tercatat; jika mendapat uang cash, darimana dan siapa yang memberikan; dan apakah ada bukti transaksi yang bisa digunakan untuk melacak jaringan bisnis kejahatan perdagangan manusia.
Jika dari analisa transaksi keuangan ditemukan bukti-bukti kejahatan, maka penegak hukum dapat menggunakan data dari badan intelijen keuangan untuk memproses lebih lanjut secara hukum dan peradilan.
Dengan proses kolaboratif ini, kita dapat berharap agar penanganan kejahatan perdagangan manusia tidak hanya terfokus pada penangkapan pelaku kejahatan, tapi juga memperjuangkan upaya preventif dan strategis.
Pemberantasan kejahatan harus dilakukan hingga ke akar, menyasar dari pelaku sampai ke perantara, hingga ke sistem-bisnis kejahatan perdagangan manusia (baik lokal, nasional, regional ataupun trans-nasional). Hanya dengan demikian, kita dapat mencegah berkembangnya bisnis kejahatan perdagangan manusia dan eksploitasi seksual.
Simpulan
Uang bisa berbicara. Riwayat transaksi keuangan bisa mengungkap tentang siapa, bagaimana dan dimana orang-orang yang terlibat dalam kejahatan perdagangan manusia dan eksploitasi seksual.
Badan intelijen keuangan dapat bekerjasama dengan penegak hukum dalam upaya investigasi, terutama untuk menganalisa transaksi keuangan yang terindikasi kejahatan perdagangan manusia.
Perlu digarisbawahi, Indonesia sebagai salah satu negara dengan resiko tinggi kejahatan perdagangan manusia dan eksploitasi seksual, sudah selayaknya lebih serius mengembangkan strategi penanganan dan pemberantasan. Termasuk di dalamnya, pengembangan dan penggunaan analisa data transaksi keuangan untuk melacak kejahatan, baik pada level nasional dan global.
Sumber:
Kuliah tamu dalam mata kuliah Amerta Forensic Psychology at Universitas Airlangga oleh Afra Azzahra, kandidat PhD di Charles Sturt University, Australia, yang menyampaikan kuliah tamu “Revealing sex trafficking through follow the money concept”.
Referensi:
Butler, B. (2019). Legal breaches allowed Westpac customers to pay for child sexual abuse undetected, Austrac alleges. Diakses dari https://www.theguardian.com/australia-news/2019/nov/21/legal-breaches-allowed-westpac-customers-to-pay-for-child-sex-undetected-austrac-alleges
Enos, O. (2014). Nearly two thirds of human trafficking victims are from Asia. Diakses dari https://www.dailysignal.com/2014/11/20/nearly-two-thirds-human-trafficking-victims-asia/
Global Slavery Index di akses dari https://www.globalslaveryindex.org/2018/findings/highlights/
Kelly, C. (2019). 13 sex trafficking statistics that explain the enormity of the global sex trade. Diakses dari https://www.usatoday.com/story/news/investigations/2019/07/29/12-trafficking-statistics-enormity-global-sex-trade/1755192001/
United Nations Office on Drugs and Crime, 2018, Diakses dari https://www.unodc.org/documents/data-and-analysis/tip/2021/GLOTiP_2020_15jan_web.pdf
Wijaya, S. (2020). Perdagangan manusia d Indonesia: Dari pengantin pesanan sampai istri dijual suami sendiri. Diakses dari https://www.abc.net.au/indonesian/2020-07-30/pakar-merasa-perdagangan-manusia-di-indonesia-makin-buruk/12507716
Penulis: Margaretha
Pengajar Psikologi Forensik Universitas Airlangga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H