Suatu hari saat sedang berada dalam antrian di sebuah pusat perbelanjaan, saya berdiri di belakang beberapa remaja wanita yang sedang bercerita. Salah seorang dari mereka tampak sangat bersemangat dan mendominasi pembicaraan saat itu, Ia dengan menggebu-gebu menceritakan persoalan relasional yang dialaminya sementara teman-temannya yang lain tampak mendengarkan dengan serius. Sampai suatu ketika salah seorang teman yang sedari tadi mendengarkan menyampaikan pendapatnya melalui sebuah kalimat, “Sudahlah, just be yourself aja, ‘ngapain ‘ngikutin apa kata orang itu, nobody’s perfect!”.
Perkataan “just be yourself” sepertinya bukan hal yang baru pertama kali kita dengar, terutama di kalangan remaja yang notabene sedang dalam awal petualangan mencari jati diri. Setelah “be yourself”, lambat laun kita pun mengenal ungkapan lain yang karena diperkenalkan setelahnya, tampaknya memiliki tingkat pemahaman atau kesadaran diri lebih lanjut: “be the best version of yourself”.
Ungkapan-ungkapan tadi kelihatannya sangat menarik, apalagi ketika kita hidup di dunia yang semakin padat oleh manusia, yang setiap orangnya yang memiliki keragaman dan tidak ada dua orang di dunia ini yang identik. Kita berjumpa dengan beragam karakter, kepribadian dan juga kebutuhan manusia di dalam kehidupan kita setiap hari.
Menjadi diri sendiri seharusnya lebih mudah daripada menjadi seperti orang lain atau pun menjadi seperti apa yang orang lain inginkan. Namun terlintas di pikiran saya kemudian, melihat ke dalam kepribadian diri saya sendiri, saya menyadari bahwa saya orang yang sering kurang sabar, cenderung perfeksionis militan, dan sering melihat segala sesuatu hanya secara hitam dan putih. Namun menurut beberapa teman, saya dikatakan sedikit cuek dan juga banyak kelemahan saya lainnya.
Lantas, berkaca pada diri saya sendiri, apakah dengan mengatakan “just be yourself” sudah menjadi jawaban atas setiap masalah relasi kita dengan orang lain, atau dapatkah pribadi diri kita yang sedemikian cukup memberikan kebahagiaan buat kita sendiri? Apakah dengan “be yourself” manusia dapat menemukan sosok idealnya dan dapat merasa puas dengan dirinya? Apa ini yang diinginkan oleh Pencipta kita ketika Dia menciptakan kita?
Sebagai ciptaan Tuhan, memang benar bahwa setiap manusia adalah unik dengan kepribadiannya masing-masing. Bahkan anak kembar identik sekalipun memiliki hal-hal yang tidak sama. Terlebih lagi ketika manusia dibandingkan dengan ciptaan Tuhan lainnya. Ada hal-hal khusus yang membedakan penciptaan manusia dengan ciptaan mahluk hidup yang lain. Lois Berkhof dalam bukunya Teologi Sistematika (Momentum, 1994) menyatakan sebagai berikut:
Pertama, Penciptaan manusia didahului oleh suatu pertimbangan yang agung. Sebelum penulis Alkitab yang diinspirasikan oleh Roh Kudus mencatat penciptaan manusia, terlebih dahulu dicatat pertimbangan dan ketetapan Allah melalui kalimat: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita (Alkitab, Kejadian 1:26)”. Kita di ayat ini merupakan gambaran ketritunggalan Allah.
Kedua, Penciptaan manusia adalah tindakan Allah secara langsung yang artinya tidak ada perantara ketika Allah menciptakan manusia. Jika kita melihat saat Allah menciptakan tumbuhan, Dia berkata,”Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-buahan yang menghasilkan buah dan berbiji, supaya tumbuh tumbuhan di bumi”, atau pada saat penciptaan binatang, Tuhan berkata,”Hendaklah dalam air berkeriapan mahkluk yang hidup”. Tetapi pada saat penciptaan manusia, hanya tertulis,”Maka Allah menciptakan manusia”.
Ketiga, Penciptaan manusia menggunakan contoh Ilahi. Ketika Allah menciptakan tumbuhan, ikan, dan binatang-binatang dikatakan bahwa Allah menciptakan mereka menurut jenisnya, yaitu menurut bentuk tipikal dari masing-masing jenisnya. Akan tetapi ketika manusia tidaklah diciptakan sedemikian. Tuhan berkata, “Marilah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita”.
Keempat, Penciptaan manusia menggunakan dua eleman berbeda dari natur manusia yang jelas dibedakan. Ada suatu perbedaan yang jelas antara asal mula tubuh dan asal mula jiwa. Tubuh dibentuk dari debu tanah dimana dalam penciptaan tubuh ini Allah memakai materi yang sudah terlebih dahulu. Sedangkan dalam penciptaan jiwa, Allah tidak memakai materi yang sudah ada sebelumnya, tapi memakai substansi baru. Jiwa manusia sungguh-sungguh sebuah ciptaan Allah yang baru. Allah menghembuskan nafas hidup ke dalam hidung manusia dan manusia menjadi mahluk yang hidup.
Dan yang kelima, Penciptaan manusia ditempatkan dalam kedudukan yang mulia. Manusia dikatakan berada di puncak segala susunan penciptaan. Manusia dimahkotai sebagai raja atas semua ciptaan yang lebih rendah, dan hendak memerintah semua ciptaan yang lain. Maka tugas dan tanggung jawabnya adalah menjadikan seluruh alam dan seluruh ciptaan yang ada dibawah kuasanya menjadi pelayan bagi maksud dan kehendaknya, dalam tujuan bahwa ia dan seluruh mahluk yang ada di bawahnya memuliakan Allah yang Maha Kuasa dan Tuhan dari seluruh alam semesta.