Dalam pernikahan ini, aku merasa seperti berjalan di atas pasir hisap. Semakin berusaha melangkah, semakin tenggelam aku dalam ketidakbahagiaan. Aku muak, letih, dan kehilangan arah, tapi ada rantai tak kasat mata yang membuatku tak bisa pergi. Kadang aku bertanya, apakah bertahan ini sebuah kekuatan, ataukah bentuk ketakutanku untuk melepaskan? Aku hanya ingin menemukan damai, meski saat ini damai terasa seperti ilusi yang tak tergapai.
Tiap hari terasa seperti pertarungan batin, antara harapan yang terus melemah dan kenyataan yang tak kunjung berubah. Aku mencoba mencari secercah cahaya di tengah gelapnya hati, tapi yang kutemukan hanya bayang-bayang dari luka yang semakin dalam.
Aku bertanya-tanya, apa artinya cinta jika hanya menjadi beban? Apa artinya janji jika hanya menyisakan kepahitan? Aku tidak tahu apakah aku bertahan karena rasa tanggung jawab, karena takut mengecewakan orang lain, atau karena aku terlalu takut melangkah ke jalan yang belum pernah kutempuh.
Aku ingin berteriak, menangis, melarikan diri ke tempat di mana aku bisa merasa utuh kembali. Tapi di mana itu? Bagaimana caranya? Aku merasa terkunci di dalam ruang yang sempit, tanpa kunci untuk keluar dan tanpa udara untuk bernapas.
Aku hanya ingin merasakan hidup lagi---tanpa beban ini, tanpa rasa hampa yang terus menghantui. Namun, jalan keluar masih terlihat seperti mimpi yang jauh, dan aku terjebak dalam dilema tanpa akhir.
Hhhhaaaaaaaaaaaaaa....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H