Konflik tanah ulayat di Desa Tanjung Boleng, Kecamatan Mbeliling, Manggarai Barat, adalah cerminan nyata dari tantangan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Dalam bayang-bayang perkembangan industri pariwisata yang pesat di Labuan Bajo dan sekitarnya, tanah menjadi komoditas berharga yang kerap memicu benturan kepentingan. Konflik ini, yang melibatkan warga Tebedo, Terlaing, dan Mbehal, menyingkap kompleksitas hubungan sejarah, adat, dan modernisasi dalam kehidupan masyarakat lokal.
Dari sisi historis, tanah ulayat adalah warisan budaya yang memiliki makna lebih dari sekadar aset ekonomi. Tanah menjadi identitas kolektif masyarakat adat, melibatkan nilai-nilai luhur yang diwariskan lintas generasi. Namun, konflik ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai adat dapat berbenturan dengan realitas modern yang menuntut bukti formal kepemilikan, seperti sertifikat tanah. Ketegangan ini semakin diperumit oleh campur tangan pihak luar, termasuk dugaan praktik "mafia tanah" dan kebutuhan investor untuk memperluas bisnis di daerah strategis seperti Labuan Bajo.
Ketika warga Tebedo dan Terlaing menduduki lahan yang mereka klaim sebagai hak ulayat, reaksi keras datang dari warga Mbehal yang juga merasa memiliki hak atas tanah tersebut. Pertikaian ini menunjukkan betapa rapuhnya hubungan persaudaraan adat ketika dihadapkan pada tuntutan ekonomi dan tekanan eksternal. Sejarah panjang hubungan antar kampung yang seharusnya menjadi dasar harmoni justru menjadi ajang saling klaim dan perseteruan.
Pemerintah desa dan kabupaten telah mencoba menawarkan solusi melalui mediasi, namun pendekatan ini menemui hambatan karena perbedaan persepsi. Warga Mbehal, misalnya, menganggap masalah ini sebagai urusan internal keluarga adat yang tidak membutuhkan intervensi pemerintah. Sebaliknya, warga Tebedo mendukung mediasi untuk mencegah eskalasi konflik. Hal ini mencerminkan kurangnya keselarasan antara cara pandang adat dan pendekatan formal dalam menyelesaikan konflik.
Masalah ini juga memperlihatkan kelemahan dalam pengelolaan agraria di tingkat lokal. Ketika polisi meminta dokumen formal sebagai dasar laporan, masyarakat adat merasa terhambat karena hukum adat tidak mengatur pengelolaan tanah dalam bentuk dokumen tertulis. Di sisi lain, aparat penegak hukum terjebak dalam prosedur formal yang tidak sepenuhnya relevan dengan konteks budaya setempat. Ketegangan ini menjadi pengingat pentingnya membangun mekanisme hukum yang mampu menjembatani kebutuhan adat dan formalitas hukum negara.
Namun, di balik kompleksitas ini, ada pelajaran yang bisa diambil. Konflik ini membuka mata kita akan kebutuhan mendesak untuk memperkuat dokumentasi hak ulayat melalui peta adat dan pengakuan resmi. Pendekatan dialog multistakeholder yang melibatkan semua pihak, termasuk pemerintah, tokoh adat, dan akademisi, dapat menjadi langkah strategis untuk menciptakan solusi yang adil dan berkelanjutan. Selain itu, edukasi kepada masyarakat adat tentang pentingnya dokumen formal dapat membantu mereka mempertahankan hak ulayat tanpa kehilangan jati diri budaya mereka.
Lebih jauh, pemerintah harus segera mengatur alih fungsi tanah secara lebih ketat untuk mencegah eksploitasi oleh pihak asing atau investor yang tidak menghormati kepentingan masyarakat lokal. Pengelolaan konflik tanah tidak boleh berhenti pada penyelesaian sengketa, tetapi harus menjadi pintu masuk untuk menciptakan sistem pengelolaan sumber daya yang adil dan inklusif.
Konflik seperti ini bukan hanya tentang siapa yang benar atau salah, tetapi tentang bagaimana menjaga keseimbangan antara kepentingan tradisional dan kebutuhan modern. Di tengah gelombang pembangunan yang masif, penting untuk mengingat bahwa masyarakat adat adalah penjaga nilai-nilai lokal yang tak ternilai. Menyelesaikan konflik dengan cara yang menghormati adat sekaligus memenuhi tuntutan modernisasi adalah langkah strategis untuk menciptakan harmoni yang berkelanjutan di Manggarai Barat.
Labuan Bajo dan Manggarai Barat adalah pintu gerbang menuju keindahan alam dan budaya Indonesia. Namun, untuk menjaga keindahan itu tetap hidup, semua pihak harus bergerak bersama, memadukan kebijaksanaan adat dan pengelolaan modern dalam semangat gotong royong. Tanah bukan hanya soal siapa pemiliknya, tetapi juga soal bagaimana kita memanfaatkannya untuk kebaikan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H