"Berarti ntar kita kondangan makan nasi Padang, dong?" gue bertanya sambil berganti gaun.
"Nasi Aceh," jawab si mamih yang juga sedang berdandan acuh tak acuh.
"Lha katanya tadi yang kawin Padang, jadinya Padang apa Aceh?"
"Jawa."
"Kok jadi Jawa sih?"
"Iya, suaminya Jawa, istrinya ga tau Padang apa Aceh apa apa gitu!" si mamih menjawab tak sabar
"Ohh...Klo kaya gitu berarti makanannya apa?"
Mamih melirik pendek, "Chinese food" jawabnya sambil memulas bibir dengan lipstick.
Bagi tamu undangan seperti gue, mau yang nikah Sumatra, Jawa, Kalimantan, Papua, Kristen, Islam, Konghucu, tidak menjadi soal. Bagi keluarga yang menikah juga tampaknya tidak terlalu bermasalah, dengan pesta berjalan lancar. Tapi tidak semua pasangan bernasib sama.
Kisah pernikahan beda SARA selalu membawa ingatan gue pada sebuah acara 'High Tea' pasangan muda di Royal Copenhagen Tea House, Takashimaya di pusat Orchard, Singapura. Yang pria adalah seorang lelaki keturunan chinese dengan kulit yang putih bersih dan wajah yang orang suka sebut ‘bawa hoki'. Sedangkan yang perempuan adalah wanita keturunan India, tinggi langsing dengan rambut ikal panjang. Mata cokelatnya bersinar terang dan dengan sepasang lesung pipit, senyumnya makin ciamik.
Keduanya tampak berasal dari keluarga yang cukup makmur, melihat cara berpakaian, perhiasan yang dikenakan, dan dimana mereka mengadakan ‘high tea' itu, tempat warga kelas menengah atas Singapura biasa menghabiskan waktunya (dan juga uang). Alangkah serasinya, orang akan berkata, jika bukan karena wajah duka yang ditunjukkan kedua keluarga.
Dari jarak 5 meter gue bisa melihat, bahwa tidak ada seorangpun dari keluarga masing-masing yang menghargai pilihan anak mereka. Satu-satunya yang tampak gembira di resepsi itu hanyalah si pasangan itu sendiri, saling mencuri senyum di setiap kesempatan yang ada. Sedangkan sisanya, duduk diam terpaku pada piring Danish porcelain mereka.
Terkadang, saat pasangan ini asik bicara, pria yang kemungkinan adalah ayah sang mempelai akan memandang dengan penuh ketidaksukaan. Keluarga pihak wanita tidak bersikap beda. Selama jamuan 8-course-meal itu, ibu sang wanita berusaha menjaga sedikit mungkin kontak dengan ayah pihak pria yang duduk persis di sebelahnya. Berkali-kali ia mengangkat tangan, memamerkan cincin berlian dan gelang mas putih yang dikenakan.
Jika bukan karena pasangan ini, kedua keluarga ini bisa saja duduk terpisah, yang India di sisi kiri dan yang Chinese di sisi kanan. Gue tidak tinggal hingga akhir acara. Tapi apa yang seharusnya menjadi acara suka cita bersatunya dua keluarga, terlihat lebih seperti sebuah misa Requiem di rumah duka.
Ataukah memang begitu kenyataannya? Karena masing-masing keluarga melihat ‘kematian' saat anak-anak kebanggaan mereka justru memilih pasangan yang paling tidak diharapkan?
Diajarkan Bhineka-tunggal-ika dari kecil, gue setuju dengan semua orang: Cinta tidak seharusnya dihalangi perbedaan ras apapaun. Tapi kisah yang sama juga mengingatkan gue dengan seorang pembersih, yang menantang gue berpikir. Bisakah orang tua menyembunyikan atau bahkan menghindari kekecewaan mereka? Adakah alasan yang lebih dalam mengapa orang dari ras yang berbeda tidak bisa bersatu?
Izinkan gue memperkenalkan si Bibi, pembersih di asrama ketika masih kuliah di Singapura. Pertemuan pertama gue dengan si bibi adalah di suatu pagi yang cerah, saat gue lagi mandi di WC bersama. Tiba-tiba pintu kamar mandi digedor-gedor dengan kencang dan rentetetan kata-kata asing tersembur keluar.
Dari kemampuan Bahasa Mandarin yang minim, gue menangkap kata ‘Tinggal dimana' dan ‘kunci kamar'. Gue tidak bisa langsung keluar karena sekujur tubuh gue masih penuh busa dan sabun. Maka gue menyelipkan kunci kamar gue lewat lubang angin.
Proses interogasi dari balik pintu kamar mandi masih terus berlangsung. Akhirnya gue menyerah. Dengan handuk dan sabun, gue menghadapi musuh gue: Si Bibi.
"Tinggal disini?" Tanya si bibi dengan penuh kecurigaan. Gue mengiyakan.
"Tapi ini kan daerah kamar cowo!" Si Bibi tidak percaya.
Kamar gue memang kebetulan bersebelahan persis dengan deretan asrama cowo. Maka haruslah gue, masih dengan handuk dan sabun, berjalan dan membuka kamar gue dengan kunci kamar gue untuk membuktikan keabsahan gue mandi disitu.
Tidak ada permintaan maaf. Si bibi terus menggerutu tentang betapa dia tidak pernah melihat gue, tentang betapa banyaknya perempuan tidak tahu malu yang kumpul kebo di kamar cowonya dan mandi di asrama, membuat kamar mandi jadi cepet jorok dan menambah berat pekerjaannya.
"Saya sudah tinggal disini 2 tahun," gue membela diri
Si Bibi pura-pura tidak mendengar. Dia terus menggumam-gumam, dasar Melayu, gak punya moral, selundup-selundup.
"Saya Cina kok," gue nyeletuk. Si Bibi menatap perempuan berkulit tidak putih-putih amat bermata agak besar ukuran orang Singapur ini. Jelas ia tidak percaya.
Pacar saat itu adalah pria keturunan Belanda-Perancis-Vietnam-Cina yang karena percampuran yang terlalu ekstrim, mengakibatkan beliau terlihat seperti seorang pria Indonesia (saja). Si Bibi selalu membuntuti kami dengan penuh kecurigaan. Tapi saat seorang teman warga Singapura numpang mandi setelah semalaman mempersiapkan pameran fotografi, si Bibi menjadi begitu ramah. Boyfriend ah...boyfriend.. ujarnya sambil senyum sumringah.
Si Bibi rasis. Jelas. Tiada ampun. Tapi bisakah gue menyalahkan si Bibi karena memperlakukan gue sedemikian? Setelah kami dekat, si Bibi bercerita tentang putra semata wayangnya yang sangat ia banggakan dan ia cintai. Sang anak kesayangan suatu hari menikahi wanita dari ras yang berbeda dan pindah agama. Ia kini tidak bisa lagi ikut doa bersama dan merayakan Tahun Baru Imlek karena itu dilarang agama barunya.
"Saya cuma mau seorang anak yang akan berdoa untuk saya dan suami saya setelah saya meninggal," ia berkata lirih. "Tahun baru terasa begitu sepi sekarang. Kita berharap dia bisa datang dan minum teh dengan kami..." Matanya basah saat ia berbicara. Entah mengapa, gue bisa merasakan kepedihan dan kesendirian yang dialami. Si Bibi tidak benci orang Indonesia. Dia kangen anaknya.
Pada perayaan Tahun Baru Cina, si Bibi memberi gue angpao. Si Bibi sama sekali tidak kaya, tapi dia menyisihkan sedikit uangnya. Gue diundang ke rumahnya untuk upacara minum teh dan mengangkat hio, bahkan meski gue tidak berdoa sepatah katapun. Sejujurnya, gue tidak bisa membayangkan menjadi tua dan merayakan reuni keluarga bukan dengan anak yang gue lahirkan, tapi dengan seorang perempuan asing.
Perkenalan itu membawa gue berpikir, mungkin bukan ras yang menyebabkan masalah, tapi tradisi dan kebersamaan yang tidak bisa lagi dipertahankan. Menurut agamanya, si Bibi percaya bahwa dunia kematian bertautan dengan dunia orang hidup. Jika dia meninggal dan tidak ada orang yang membakar kemenyan dan barang-barang lain untuk mempersiapkan kehidupan setelah kematian, bagaimana rohnya bisa beristirahat dengan tenang?
Setelah pindah agama, anaknya tidak lagi bisa berdoa dengan hio kepada para dewa. Tapi adalah pengalaman yang sangat sedih untuk berdoa sendiri saat keluarga lain bersatu di kuil.
Mencari jawaban kepada siapa gue harus berpihak, gue menemukan sebuah riset oleh Rajaratnam School of International Studies, di NTU. Penelitian sosial ini menunjukkan bahwa warga Singapura sudah sangat dewasa dalam hal hubungan antar ras. Sebagai contoh, lebih dari 90% penduduk tidak keberatan bekerja dengan orang dari ras yang berbeda, atau punya atasan berbeda ras.
Tapi saat perkawinan disinggung, presentasenya turun drastis. Hanya sekitar 33% yang tidak keberatan mempunyai pasangan hidup dari ras yang berbeda, membuat sebuah garis tegas antara lingkup privat dan publik.
Gue kemudian menemui si profesor yang memimpin penelitian tersebut, bertanya apakah riset ini mengindikasikan sebuah masyarakat yang munafik, yang menyatakan akan menjunjung tinggi keberagaman ras, selama itu tidak menyinggung hidup mereka sendiri? Di lubuk hati yang paling dalam, mereka tetaplah meragukan bahwa orang yang berbeda ras bisa hidup harmonis dengan cara yang paling dekat dan paling personal.
Sang professor justru menyatakan bahwa angka 33% itu merupakan angka yang sudah luar biasa bagus. Menurutnya adalah sangat wajar jika seseorang memilih pasangan yang ‘serupa'. "Saat kamu bekerja, kita harus bisa bekerja dengan siapa saja, ras, masalah personal, tidak bisa menghalangi profesionalitas. Tapi saat kita menikahi seseorang, kita membawa mereka ke masalah pribadi kita, tradisi, budaya dan kepercayaan. Beberapa orang kadang tidak bisa menerima perbedaan yang terlalu drastis dan kita tidak bisa menyalahkan mereka untuk memilih opsi ini," katanya.
Riset ini, dan kisah si Bibi, tidak bermaksud untuk meragukan pernikahan antar ras antar agama. Gue sungguh menghormati orang-orang yang memperjuangkan sebuah cinta dan membangun dasar keluarga yang kuat dari cinta itu. Tapi jauh sebelum gue menuduh seseorang sebagai picik, kuno atau rasis, mungkin gue harus melihat latar belakang mereka. Mungkin bukan cuma warna kulit yang memberi halangan. Meskipun tentunya, semua seharusnya menyadari bahwa setidaknya percampuran budaya membuat hidangan saat pesta kawinan jadi lebih nikmat bagi para tamunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H