Bumi diperkirakan telah ada sejak ±4,5 milyar tahun silam, sementara manusia (homo sapiens) ±200.000 tahun. Kalau rentang waktu ini diumpamakan sebuah lapangan sepak bola, masing-masing dari kita―dengan perkiraan usia hidup ±70 tahun―sebenarnya tak lebih dari seekor semut.
Namun pada saat pikiran sedang diganggu masalah, tiba-tiba kita menganggap diri ini pusat dari alam semesta. Pikiran yang mengganggu―entah itu perasaan tersinggung karena kritik seorang teman, khawatir karena besarnya tagihan kartu kredit atau lainnya―seolah jadi hal paling penting di dunia. Untuk menjadi bijaksana, atau sekedar refreshing, membaca halaman demi halaman buku A History of the World yang ditulis Andrew Marr bisa membuat kita kecil lagi.
Melihat fisik buku ini saja—bahkan tanpa perlu membacanya—sudah bisa membuat kita merasa kecil. Buku ini gempal, dengan ±640 halamannya yang terbagi dalam 8 bab. Saya membutuhkan 8 hari untuk menyelesaikannya. Beberapa bagian di dalam buku ini menuntut energi dan fokus yang berlebih untuk dipahami.
Lalu, apa yang bisa memotivasi pembaca untuk lanjut membacanya sampai habis? Mungkin setiap cerita dalam setiap babnya yang terasa dekat dan nyata. Buku ini seperti memberikan cermin kepada pembacanya.Â
Masalah sehari-hari kita adalah masalah manusia selama berabad-abad. Teknologi dan gaya hidup memang sudah berbeda, tapi sifat-sifat manusia belum berubah. Bila bisa kembali ke ribuan tahun silam, mungkin kita akan membutuhkan waktu untuk mempelajari cara kerja teknologi yang digunakan orang-orang di masa itu. Namun tidak perlu banyak waktu bagi kita untuk mengerti motivasi manusia-manusianya. Sebagai contoh, mungkin sulit untuk mengartikan tulisan-tulisan di atas tablet tanah liat (clay tablet) yang muncul ±3.000 tahun lalu di Kota Uruk (yang sekarang terletak di wilayah Turki). Namun tidak sulit untuk memahami niat mereka untuk mengabadikan informasi, selayaknya kita mencatat di atas kertas.
Siddharta Gautama pergi meninggalkan rumahnya karena kebosanan yang mendalam, padahal ia―ironisnya―memiliki harta dan sumber hiburan yang berlimpah. Kita juga sering merasakan ini, bukan? Kesepian di tengah hiruk-pikuk media sosial, kehampaan saat menghabiskan satu season serial televisi dalam sehari.
Sering merasa terganggu oleh remaja yang kebut-kebutan di jalanan? Mungkin kegusaran serupa juga dirasakan oleh seorang birokrat bernama Konfucius yang hidup di tengah masyarakat yang tidak tertib, ±2.500 tahun yang lalu.
Resah terhadap kalangan yang memiliki loyalitas buta terhadap pemerintah? Perasaan ini mendorong Socrates untuk menggangu orang-orang yang ditemuinya di jalan dengan menginterogasi gaya hidup mereka.
Sifat Marco Polo yang suka membesar-besarkan dan mengabadikan pencapaiannya dalam sebuah buku masih bertahan hingga kini. Lihat saja biografi para politisi yang bertebaran di toko buku pada musim kampanye.
Masih ingat dengan krisis ekonomi tahun 2008 yang disebabkan oleh housing bubble? Hal serupa pernah terjadi di Belanda di era 1600-an―hanya saja aset yang dipertaruhkan pada saat itu bukanlah rumah, melainkan bunga tulip.
Beberapa dari kita khawatir akan keberlangsungan karir yang perlahan digerogoti teknologi. Bila anda bekerja sebagai operator penanganan keluhan konsumen atau pesan antar makanan, kemungkinan anda sedang khawatir karena perusahaan perlahan beralih menggunakan komputer dan situs internet untuk mengerjakan pekerjaan anda. Bila demikian, mungkin mudah saja bagi anda untuk menaruh simpati terhadap pekerja pada abad ke-19 yang lapangan pekerjaannya seketika ditelan revolusi industri.