Keberagaman kultur dan nilai yang dianut di Indonesia sering menimbulkan ketegangan. Saat menghadapinya, biasanya orang memilih untuk bersikap naif (dengan memuja-muja sisi yang indah dari keberagaman, sembari menutup mata terhadap sisi buruknya) atau primordial (dengan menutup diri sambil menganggap komunitas sendiri yang paling beradab). Sudah saatnya kita menerapkan pendekatan baru.
Beberapa negara barat sedang berdebat tentang kegagalan multikulturalisme. Di Eropa, kebijakan-kebijakan multikultural (seperti peraturan pro-imigrasi) seringkali dianggap sebagai biang keladi rusaknya tatanan sosial dan meningkatnya kriminalitas. Para pendukung multikulturalisme mengimpikan keberagaman yang menyatu, seumpama semangkuk sup yang menghasilkan satu rasa walau berisikan berbagai bahan baku. Namun yang seringkali didapat malah tatanan sosial yang tersekat-sekat, seumpama semangkuk salad yang berisi berbagai macam sayuran.
Permasalahan terkait multikulturalisme juga kita alami di Indonesia. Mengutip dokumen Badan Pusat Statistik, Indonesia terbagi ke dalam sekitar 13.667 pulau, 358 suku bangsa, 200 sub suku bangsa dengan beragam agama dan kepercayaan. Berdasarkan penelitian Wahid Foundation bersama Lembaga Survei Indonesia di tahun 2016 terhadap 1.520 responden (yang merepresentasikan populasi Indonesia):
- 59,9% responden membenci suatu kelompok (misalnya kelompok non-muslim, keturunan tionghoa, komunis dan lain-lain);
- Dari 59,9% tersebut, 92,2% diantaranya tidak setuju bila anggota kelompok yang dibenci ini menduduki jabatan pemerintahan dan 82,4% bahkan tidak rela memiliki tetangga dari kelompok yang dibenci tersebut;
- 7,7% responden bersedia melakukan tindakan radikal bila ada kesempatan.
Ada perbedaan antara masalah multikulturalisme di negara barat dengan yang kita alami. Negara barat, terutama yang pada awalnya terbentuk dari masyarakat yang memiliki identitas yang sama, punya pilihan untuk tidak mengadopsi kebijakan pro-multikulturalisme. Bagi mereka, perbedaan kultur adalah sesuatu yang dibawa oleh para pendatang dan bisa sewaktu-waktu dihentikan. Kita tidak punya keleluasaan semacam itu karena dua hal. Pertama, Indonesia dari awalnya sudah multikultural. Kedua, hasrat persatuan yang dimiliki orang Indonesia bisa dikatakan benar-benar merupakan kenyataan sosial—lebih dari sekedar gincu-gincu politik. Terkait alasan kedua itu, kata-kata Franz Magnis-Suseno menarik untuk direnungkan:
“Kebangsaan Indonesia bukan semacam jadi-jadian, melainkan membuktikan diri dalam hasrat para pemuda yang cukup berbeda itu untuk mejadi satu bangsa. Kebangsaan Indonesia dalam sejarah Indonesia merdeka kemudian tidak pernah sungguh-sungguh dipersoalkan. Di tahun 50-an tidak dan juga sesudah jatuhnya rezim orde baru tidak. Pelbagai pemberontakan di tahun 50-an bukannya mau keluar dari Republik Indonesia, melainkan mau menyelamatkan Indonesia dari pelbagai ancaman yang mereka persepsi. Pada akhir abad ke-20, karena banyak konflik lokal yang pecah, banyak yang bicara tentang “disintegrasi” yang mengancam Indonesia. Sekarang, 13 tahun kemudian, kelihatan bahwa bangsa Indonesia memang menghadapi pelbagai masalah serius, tetapi disintegrasi tidak terdapat di antaranya.” – (dikutip dari bagian prolog buku "Negara Paripurna" karya Yudi Latif)
Oleh karena itu, mau tidak mau, perkara multikulturalisme harus dicari jalan keluarnya. Sayangnya pendekatan-pendekatan untuk menyikapi multikulturalisme yang lazim diterapkan cenderung tidak menyelesaikan masalah. Biasanya di satu sisi ada kaum liberal-progresif yang kerap menekankan hal-hal yang baik tentang perbedaan. Mereka terus mengulang mantra bahwa perbedaan itu indah. Namun mereka seringkali bersikap selektif dalam meliput perbedaan—hanya bagian yang indah saja yang ditunjukan. Padahal keberagaman memiliki sisi gelap, yaitu potensi konflik sosial. Selain itu mereka juga sering menekankan propaganda bahwa semua nilai dan kultur sama baiknya (pemahaman yang dikenal dengan istilah cultural relativism). Padahal, dalam beberapa aspek (misalnya penghormatan terhadap kemanusiaan dan dukungan terhadap kemajuan teknologi), masing-masing nilai dan kultur jelas-jelas tidak selalu sama dalam bersikap. Kelemahan-kelemahan ini sering membuat posisi kaum liberal-progresif dijadikan bulan-bulanan oleh kubu yang berseberangan dengannya, yaitu kaum konservatif. Kaum konservatif cenderung mengadvokasi komunitas yang tertutup dan stabil.
Kedua kubu tidak menemukan titik temu. Kaum konservatif menganggap liberal-progresif naif dan kekanak-kanakan. Sementara kaum liberal-progresif mencerca lawannya dengan sebutan-sebutan seperti ‘kaum rasis’ dan ‘pengidap primordialisme.’ Tidak cukup sampai di situ, ketersediaan pasal-pasal pidana terkait yang siap dieksploitasi (seperti penodaan agama dan fitnah) turut memperkeruh suasana. Tidak jarang perdebatan-perdebatan terkait isu-isu multikulturalisme berujung kepada laporan pidana di kepolisian.
Sebenarnya ada pilihan ketiga yang menengahi pendekatan liberal-progresif dan konservatif tersebut, yaitu pendekatan diskusi yang jujur. Dalam diskusi semacam ini, kita bisa terbuka dalam menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing nilai dan kultur. Kita bisa memetakan mana nilai-nilai yang sejalan dan mana yang belum bisa dipertemukan. Selanjutnya kita bisa membiarkan sesama warga negara hidup dengan adat dan kebiasaannya masing-masing, setidaknya sejauh kepentingan umum tidak dirugikan.
Tentunya apabila ada penerapan nilai yang bertabrakan dengan kepentingan khalayak umum, solusi praktisnya bisa dibicarakan dalam kasus demi kasus. Dalam hal ini tidak perlu ada seorang pun yang dipenjara, apalagi dijadikan obyek kekerasan fisik, hanya karena berpendapat.
Cepat atau lambat kita harus belajar untuk lebih jarang tersinggung. Cepat atau lambat kita harus belajar untuk nyaman membicarakan isu-isu SARA (Suku Ras Agama dan Antar-golongan). Seperti yang sudah dijelaskan di awal, di negeri ini kita tidak punya pilihan kecuali mengupayakan agar multikulturalisme berhasil. Kita tidak bisa membangun dinding yang tinggi untuk menghalangi masuknya keberagaman, karena keberagaman sudah ada di dalam dan keberagaman adalah kita.
Bila anda menyukai artikel ini, mungkin anda akan menyukai artikel pilihan berikut:
- Bertikai (Cuma) gara-gara Politik;